Selasa, 26 April 2016

Sepak Bola Turki Melawan Kediktatoran


Kala dunia tekagum-kagum dengan kemenangan Leicester City melawan Liverpool-nya, atau raihan tujuh gol FC Barcelona ke gawang Valencia CF, ada satu kemenangan monumental terjadi di belahan bumi lain.


Kala wasit meniup peluit akhir pertandingan Bursaspor melawan Amedspor berakhir pada ajang Ziraat Turkish Cup (31/1) muncul kontroversi dan perdebatan di Turki.

Pertandingan diakhiri dengan kemengan 1-2 untuk Amedspor, keberhasilan tersebut menjadikan mereka sebagai satu-satunya klub divisi tiga Turki yang lolos ke babak perempat-final untuk menghadapi Fenerbahce. Untuk mempermanis keadaan, hal itu terjadi di Bursa Ataturk Stadium, kandang Bursaspor.

Sialnya bukan kisah Cinderella mereka yang menggemparkan Turki, kemenangan Amedspor merupakan sebuah penghinaan besar bagi Turki.

Pertanyaan yang muncul di benak tentu saja "kenapa?"

Amedspor merupakan sebuah klub yang berasal dari daerah Diyarbakir, Turki, mereka sebelumnya dikenal sebagai Diyarbakir BB, akan tetapi nama tersebut diubah pada Oktober 2014, sebagai pernyataan bahwa mereka bukanlah klub Turki, melainkan Kurdi.

"Amed" merupakan sebutan Diyarbakir dalam bahasa Kurdi. Provinsi terbesar kedua setelah Gaziantep tersebut memang didominasi oleh penduduk berdarah Kurdi, menurut data yang diberikan Huffington Post, populasi keturunan Turki di Diyarbakir tidak mencapai 30% !

Luas daerah mereka membuat Diyarbakir dijadikan pusat militer pada zaman kerajaan Ottoman, namun pada 1925, dua tahun setelah Turki berdiri sebagai negara republik, bangsa Kurdi melakukan perlawanan. Ini bukan perlawan pertama mereka karena sebelumnya saat perang kemerdekaan Turki, bangsa Kurdi berpihak pada Ottoman, bersama Perancis, Italia, Britania Raya dan sekutu lainnya, mereka ingin mempertahankan Konstantinopel, sebuah kata yang tidak asing di buku-buku sejarah masa kini.

Seperti yang kita tahu, dengan bedirinya Turki sebagai republik, artinya Ottoman dan sekutu kalah dalam perang tersebut, tapi perlawanan tidak berakhir sampai di situ.

Pada 1984, Partai Pekerja Kurdi (PKK) bergerak sebagai kubu separatis antara Turki dan Kurdi, menimbulkan sebuah konflik yang bertahan 30 tahun, serta memakan lebih dari 40.000 korban. Semenjak saat itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan Kurdi dilarang oleh pemerintah Turki.

Saat kita membaca atau mendengar kata 'dilarang', biasanya pikiran langsung tertuju pada arti 'tidak bisa', tapi sejatinya sebuah larangan berarti kita 'tidak boleh' melakukannya, BISA, tapi tak diizinkan.

Konsep inilah yang dibawa oleh bangsa Kurdi, dan apalagi sarana penyatuan yang lebih tepat ketimbang sepak bola? Mereka membangkang pemerintah dengan mengubah nama klub menjadi Amedspor, mengganti logo klub dengan warna kuning, merah, hijau, dan tidak membayar denda yang dijatuhkan TFF !

Sama seperti pernyataan Sir Bobby Robson atau Laporta yang mengatakan FC Barcelona sebagai tentara, bahkan tim nasional tidak resmi dari Katalonia, Amedspor merupakan representasi Kurdi.

Ya, bung. Ini bukan sekedar permainan sepak bola, tapi harga diri bangsa!

Tak heran jika kemenangan Amedspor atas Bursaspor pada akhirnya ricuh. Pihak kepolisian bahkan harus menggunakan gas air mata dan water cannon untuk membubarkan massa di kota Diyarbakir. Padahal di mata kita itu hanya perayaan euforia kemenangan semata.

Dari dunia nyata ke dalam jaringan, sebuah akun Twitter mengatasnamakan Amedspor menambah panas suasana dengan berkicau:

"Kami mendedikasikan kemenangan 2-1 di Bursaspor kepada gerilyawan yang terus berjuang di Sur, di Cizre dan diseluruh penjuru masyarakat Kurdistan."

Dua hari yang lalu (2/2), pihak anti teror kepolisian menyerang kantor Amedspor untuk mencari sumber cuitan tersebut. Semua mesin memori dari komputer kantor mereka disita oleh pihak kepolisian.

Pada hari yang sama, dilakukan pengundian Piala Turki, hasilnya Amedspor akan melakoni laga kandang melawan Fenerbahce di babak berikutnya. Tak lama kemudian, Federasi Sepak Bola Turki (TFF) mengumumkan jika laga tersebut akan dilakukan di lapangan tertutup.

Bukan hanya pemaksaan laga tertutup, Amedspor pun didenda sebesar 25.000 Lira (118 juta Rupiah) karena telah melancarkan propaganda ideologis oleh para suporternya pada laga melawan Basaksehir (28/1).

Propaganda yang dimaksud TFF adalah nyanyian suporter Amedspor, mereka menyeruakan perlawanan terhadap Turki, dalam bahasa Indonesia, lirik yang mereka kumandangkan adalah:

"Barikade ada di sini.

Di mana-mana ada Sur,

Di mana-mana melakukan perlawanan,

Di mana-mana ada Cizre,

Di mana-mana melakukan perlawanan dan Jangan biarkan anak-anak mati."

Gilanya, pada laga tersebut stiker Basaksehir, Semih Senturk melakukan hormat ala militer kepada para suporter Amedspor sebagai selebrasi perayaan karena bisa menjebol gawang Amedspor.



Perang kembali berlanjut, alasan utama TFF bersikap keras kepada Amedspor adalah karena ketidakpatuhan mereka pada hukum yang berlaku di Turki, tapi kembali lagi larangan tidak akan membuat kita patuh, sebaliknya perlawanan akan semakin menjadi.

Seorang pemain Amedspor, Deniz Naki, sedang berada di bawah tekanan Komisi Disiplin Pesepakbola Profesional Turki (PFDK) karena curahan hatinya usai laga melawan Bursaspor:

"Ini kemenangan penting bagi kami. Kami mengalahkan tindakan-tindakan kotor yang selama ini diarahkan. Kami bangga bisa memberikan sedikit harapan untuk masyTarakat disaat-saat sulit. Her bijî Azadî! (kebebasan selamanya di Kurdistan)," - Deniz Naki.

Naki kini terancam mendapat hukuman larangan satu laga karena tindakannya itu, tapi Naki adalah Naki. Ia tidak pernah takut menyampaikan pendapatnya di muka umum.

Naki memiliki dua buah tatto di kedua tangannya. Pada salah satu tangan, bertuliskan "Dersim 62," yang merupakan sebuah nama tradisional sebuah daerah di Timur Turki.

Sedangkan di bagian tangan lainnya tertera nama "Azadî," yang menyerukan kemedekaan bagi suku Kurdi. Tatto "Azadî" ini, pernah membuat Nakki menjadi korban rasisme 2014, ketika itu ia bermain di Gençlerbirliği, dan langsung mengasingkan diri ke luar Turki setelah insiden tersebut.

Kasus lainnya terjadi kepada suporter yang tidak mendukung Kurdi, tapi mengagumi salah satu pemimpin Partai Pekerja Kurdi (PKK), Abdullah Ocalan. Suatu hari, suporter Galatasaray, klub yang juga didukung oleh Ocalan, membentangkan spanduk bertuliskan kecintaan mereka kepada pemimpin PKK tersebut.

Mereka juga tidak menghormati lagu kebangsaan Turki saat diputar sebelum laga, sebuah kebijakan TFF yang juga diprotes oleh sayap kiri Turki, seperti Genclerbirligi SK. Ulah-ulah tersebut akhirnya membuat pihak keamanan harus bertindak dengan menembakan gas air mata.

Kebijakan, larangan, hukuman, tekanan yang diberikan TFF kepada Amedspor dan bangsa Kurdi bisa dikategorikan di luar batas kewajaran dan pada kenyataannya juga bisa dirasakan oleh keturunan Turki.

Kita hidup di Indonesia dan sering kali meminta Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk bersih dari permainan politik, namun nyatanya di Turki, federasi mereka mendukung peperangan antar bangsa yang dicanangkan Sang Presiden, Erdogan.

Kapan sepak bola bisa dijauhkan dari politik ? Sebuah pertanyaan klasik nan retoris. 

Realita yang kita mengetahui bahwa FIFA memiliki peraturan tegas tentang intervensi politik dalam sepak bola, tapi seperti kata Thierry Ragenass, salah satu petinggi asosiasi sepak bola dunia tersebut. Intervensi politik adalah saat sebuah asosiasi sepak bola tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai mandiri akibat pengaruh pihak lain. Saat bidang yang seharusnya dikendalikan oleh asosiasi dikendalikan oleh mereka, orang di luar badan sepak bola, di situlah intervensi politik terjadi.

Ia tidak menyebutkan tentang kebalikannya, bagaimana jika sebuah asosiasi sepak bola, dengan senang hati, ikut dalam dunia politik negaranya ? Senang hati bukan intervensi, betul ?

Kita tidak akan bisa memisahkan sepak bola dari politik. Dalam beberapa kasus seperti di atas, olah raga ini merupakan sarana paling jitu untuk menyalurkan politik.

Hal Draper pernah menulis sebuah buku berjudul "Karl Marx's Theory of Revolution", dalam seri ketiga ia menyebutkan bahwa wasit adalah bentuk kediktatoran dalam sepak bola.

Suka atau tidak, itulah yang terjadi. Sepak bola lebih dari sekedar permainan dan olah raga.

Sepak bola adalah harga diri bung !





*Diterbitkan pada 04/02/2016

Tidak ada komentar: