Ketika negara-negara adidaya sepak bola Eropa senantiasa menghiasi laman-laman berita, kala Eropa Timur masih dipusingkan dengan kesejahteraan, hooliganisme dan ultras, ada satu daerah di Barat yang tidak banyak dikenal banyak orang. Saking tidak dikenal, banyak yang kaget jika Gibraltar memiliki liga dan tim nasional sepak bola.
Negara ini bukanlah daerah yang menjadi primadona dunia sepak bola. Dengan wilayah sebesar 6,8 kilometer persegi dan diisi dengan karang bebatuan, Gibraltar tidak cukup besar untuk menghelat liga profesional. Meski begitu, Liga Premier berlangsung rutin tiap tahun, dengan Divisi Dua sebagai kasta terendah. Iya, hanya ada dua tingkat di sepak bola Gibraltar.
Total, ada 22 klub yang bermain di Gibraltar. Yang tersukses adalah Lincoln Red Imps dengan menjuarai 21 kali titel liga. Sementara Prince of Wales, klub yang terbentuk sejak 1892 dan telah bubar, mengkoleksi 19 piala pada kompetisi amatir sebelum Perang Dunia Kedua.
Jika dilihat dari sejarah, Asosiasi Sepak Bola Gibraltar termasuk kedalam 10 organisasi tertua di dunia dan masih aktif. Meski begitu, perkembangan sepak bola di negara yang diambil dari nama Arab Jabal El Tariq ini tidak mengalami kemajuan signifikan. Hal ini disebabkan adanya campur tangan politik yang menjadi kanker di dunia sepak bola Gibraltar.
Lokasi Gibraltar yang sangat vital bagi Laut Mediterania menjadi sengketa dengan Spanyol, Inggris dan rakyat Gibraltar sendiri. Semua bermula dari perang antara Inggris dengan Spanyol pada 1704 di Perang Suksesi Spanyol. Wilayah Gibraltar diserahkan kepada Kerajaan Inggris pada 1713, dibawah Perjanjian Utrecht.
Spanyol pernah berniat mengambil kembali wilayah Gibraltar, termasuk ketika Francisco Franco berkuasa di Spanyol, sampai saat ini. Bagi pemerintah Spanyol, sengketa Gibraltar adalah permasalahan bilateral antara Inggris dengan Spanyol. Oleh karenanya, rakyat Gibraltar hanyalah "penumpang" dan tidak memiliki hak untuk menyatakan pendapatnya.
Tidak ingin menjadi bagian dari kedaulatan Spanyol, rakyat Gibraltar sampai-sampai harus mengadakan referendum dua kali, yaitu pada 1967 dan 2002. Hasilnya, Gibraltar merupakan negara berdiri sendiri, dengan dibantu oleh Kerajaan Inggris dalam hal keamanan melalui Angkatan Laut Kerajaan Britania Raya.
Perkembangan sepak bola Gibraltar pun tidak bisa lepas dari nuansa politik. Pada 8 Januari 1997, Asosiasi Sepak Bola Gibraltar (GFA) mengajukan keanggotaan FIFA. Gayung bersambut, FIFA pun menganggap GFA telah memenuhi syarat sesuai Statua FIFA Pasal 4.7. Berkat rekomendasi dari FIFA, GFA pun mengajukan keanggotaan ke UEFA. Di sini lah persoalan muncul.
Karena Spanyol menganggap Gibraltar merupakan bagian dari mereka, maka Federasi Sepak Bola Kerajaan Spanyol (RFEF) mencoba memblok usaha GFA. Lobi-lobi dilakukan oleh RFEF agar usaha GFA terganjal.
Tindakan RFEF ini sebetulnya seperti melempar satu batu ke tiga burung sekaligus. Selain Gibraltar, pemerintah Spanyol pun tidak ingin Basque dan Katalunya menempuh cara serupa di masa mendatang. Oleh karenanya, RFEF beralasan jika Gibraltar berada di wilayah sengketa sehingga sudah seharusnya tidak dimasukan kedalam UEFA atau FIFA.
Betul saja. Pada 2002 UEFA meluluskan regulasi baru jika calon anggota terbaru haruslah sebuah negara merdeka yang diakui oleh PBB. Negara-negara seperti Skotlandia dan Wales yang dibawah naungan Kerajaan Inggris dan Kepulauan Faroe yang dilindungi Denmark, tidak terpengaruh oleh aturan baru tersebut.
Melihat FIFA dan UEFA yang seakan memiliki standar ganda, GFA mengajukan keluhan ke Pengadilan Arbritasi Olahraga CAS). Dalam pembelaannya, GFA mengatakan jika FIFA sebelumnya sudah memberi izin untuk mengajukan keanggotaan sebelum aturan UEFA muncul, sehingga sudah seharusnya diberikan dispensasi.
Melihat hal runtutan peristiwa yang diajukan oleh GFA, CAS meminta agar UEFA memperbolehkan Gibraltar untuk menjadi anggota. Pemungutan suara pun dilakukan UEFA pada 2006 dengan nama Gibraltar dan Montenegro sebagai dua negara calon anggota terbaru. Di sini, RFEF kembali mengambil tindakan politisnya. Dengan mengancam tidak akan turut serta dalam setiap kegiatan kompetisi yang diadakan UEFA andai Gibraltar diperbolehkan menjadi anggota terbaru, maka hanya Inggris, Skotlandia dan Wales yang mendukung GFA. Sisanya, 45 suara, tidak mengizinkan Gibraltar masuk menjadi anggota UEFA. Sedangkan Montenegro, bisa lolos.
Sakit hati, GFA kemudian meminta CAS untuk mengintervensi sebab pada keputusan sebelumnya GFA diharuskan langsung masuk menjadi anggota, tanpa harus melalui pemungutan suara. Di 2011 UEFA akhirnya menuruti perintah CAS dengan menjadikan Gibraltar sebagai anggota baru. Para wasit dan pelatih di Gibraltar diharuskan mengikuti pelatihan berstandarkan UEFA sebagai suatu kewajiban sebagai anggota. Pada Mei 2013, Gibraltar telah resmi menjadi anggota dengan menyisakan Spanyol dan Belarusia sebagai negara yang tidak setuju.
Pada pertandingan debut sebagi anggota UEFA, Gibraltar menjalani pertandingan pertamanya melawan Slovakia pada November 2013. Sialnya, Stadion Victoria yang sejatinya adalah kandang tim nasional Gibraltar, tidak memenuhi persyaratan UEFA sebagai tempat pelaksanaan pertandingan internasional. Oleh karenanya, laga dipindahkan ke Estadio Algrave di Portugal. Meski pertandingan berakhir imbang 0-0, perayaan tumpah ruah di jalanan.
"Ini adalah hasil yang membanggakan bagi Gibraltar dan para pemain telah memberikan usaha terbaiknya," ujar Allen Bula, manajer tim nasional kala itu. "Adalah sebuah impian untuk bisa bermain pertandingan internasional pertama kalinya dan kami memiliki banyak impian yang harus diwujudkan berkat hasil baik ini," lanjutnya.
Mungkin pandangan Bula ini dianggap aneh. Akan tetapi bagi sebuah negara kecil yang berjuang untuk pengakuan, bisa turut serta di pertandingan internasional dan meraih hasil imbang adalah pertanda baik. Tidak semua negara kecil (dan sebesar Indonesia) bisa merasakan apa yang Gibraltar rasakan.
Di kualifikasi EURO 2016 Gibraltar berada di satu grup bersama Polandia, German, Skotlandia, Republik Irlandia dan Georgia. Empat negara kuat dan satu negara yang telah berpengalaman di sepak bola profesional, maka kans Gibraltar untuk lolos sangatlah kecil.
Tanpa mengecilkan kemampuan Gibraltar, namun skuat timnas yang dimiliki tidaklah cukup kompetitif. Hanya ada dua pemain profesional di tim nasional, yaitu Scott Wiseman yang bermain di Preston dan Liam Walker yang bermain di Bnei Yehuda. Sisanya adalah pemain-pemain amatir. Ada yang memiliki karir sebagai pemadam kebakaran, agen perkapalan, polisi, tukang listrik dan lainnya. Sang kapten tim Roy Chipolina pun bekerja di bea cukai.
Entah bercanda atau memang serius, Bula menyuruh pada pemain untuk tidak meminta tanda tangan ke Robert Lewandowski. Bula tahu, para pemain Gibraltar bukan lah pemain pro yang terbiasa bersua pemain top lainnya.
Bagi Jerman, bertanding melawan Gibraltar adalah sebuah penyiksaan dan seharusnya tidak dimainkan. Bagaimana pun juga, Jerman datang sebagai juara Piala Dunia 2014 Brazil namun harus bertanding melawan tim amatir.
Pasca pertandingan, Thomas Muller berkata jika dirinya merasa frustasi karena harus bermain di laga tersebut. Sementara Bild menulis artikel dengan kalimat "pertandingan melawan tim amatir dari Gibraltar ini sepenuhnya tidak sepadan," dan "jika Jerman harus bermain di seribu laga melawan tim seperti Gibraltar, maka Jerman akan tetap menang seribu kali." Keji, namun bisa difahami.
Pemain-pemain tim nasional Jerman adalah pemain profesional yang setiap hari harus berlatih fisik dan mental agar menjadi yang terbaik, serta bermain lebih dari 50 pertandingan tiap musimnya. Sementara di sisi lain, Gibraltar diisi pemain paruh waktu yang liganya hanya diisi 10 tim saja. Tentu saja Muller dan para pemain Jerman meradang.
Sistem kualifikasi di Eropa mengharuskan Jerman dan negara-negara terbaik lainnya bertanding melawan negara kecil sebagai bentuk kualifikasi. Sementara di Asia, putaran pertama biasanya diisi 12 negara yang memiliki posisi tertendah di ranking FIFA. Jika lolos, maka akan melawan tim yang lebih kuat. Beda lagi di Amerika Selatan. Ada lima slot yang diperebutkan 10 negara Amerika Selatan, termasuk playoff.
Seharusnya, negara-negara adidaya sepak bola di Eropa dan UEFA membantu negara kecil seperti Gibraltar. Sama seperti klub antah berantah yang bersyukur dapat bertemu dengan tim besar karena bisa menarik minat penonton dan pada akhirnya mendapatkan pemasukan lebih, Gibraltar bisa mengumpulkan pengalaman bermain. Bukan hanya sebagai sarang gol untuk tim lawan saja.
Dengan masuk keanggotaan UEFA, Gibraltar mendapatkan hak mutlak dari UEFA sebab "keanggotaan UEFA akan memastikan bahwa dikemudian hari para pemain akan mendapatkan kepercayaan diri dan pengalaman bermain untuk mengembangkan dan kemajuan olahraga di Gibraltar."
Ini penting bagi Gibraltar dan negara-negara kecil di Eropa, seperti Luxemburgo, San Marino dan Kazakhstan. Sebab jika tanpa ada aturan yang membantu pengembangan sepak bola di negara kecil, maka liga dan tim nasional Gibraltar akan jalan di tempat. Tidak perlu muluk bisa lolos ke putaran final EURO, untuk lolos kualifikasi atau masuk zona playoff saja merupakan tugas yang maha sukar. Bagaimana pun juga, seorang bayi tidak akan bisa berlari, sebagaimana bisa dilakukan oleh orang dewasa.
Oleh sebab itu, diperlukan sistem kompetisi yang baru agar memberikan keuntungan bagi negara-negara kecil. Gibraltar dan negara-negara kecil tidak akan meminta slot khusus di EURO. Akan tetapi, jika UEFA memberlakukan sistem kompetisi yang adil, maka Gibraltar akan mendapatkan keuntungan ganda, yaitu pengalaman bermain dan membuat sepak bola kian memasyarakat lagi.
Melihat misi yang dibawa oleh UEFA, yaitu mempromosikan, melindungi dan mengembangkan sepak bola Eropa di semua level pertandingan, maka sudah seharusnya Gibraltar dan negara-negara kecil mendapatkan bantuan dari sisi sistem kompetisi yang adil.
Sebagai perbandingan, Bhutan pernah lolos dari putaran pertama kualifikasi Asia dengan mengalahkan Sri Lanka. Masyarakat Bhutan antusias menyaksikan pertandingan kandang melawan Sri Lanka, dengan 25.000 orang memenuhi stadion. Di luar stadion, masih banyak penonton yang tidak kebagian tiket. Apakah fenomena Bhutan akan terjadi andai melawan Australia, Korea Selatan atau Thailand? Belum tentu.
Dengan melihat kehebohan di Bhutan, sudah seharusnya UEFA pun mengambil langkah serupa dengan AFC. Yang terjadi saat ini malahan UEFA menjadi "budak" dari negara-negara maju dan klub besar.
Kini, setelah Gibraltar sudah menjadi anggota UEFA, para pemain Spanyol berdatangan. Sebuah ironi. Para pemain Spanyol ini menjadi kendala terbaru bagi Gibraltar karena banyak pesepakbola muda lokal kesulitan untuk mendapatkan klub. Tapi disisi lain, kedatangan pemain Spanyol menjadi berkah untuk menaikan kompetitias kompetisi.
Jika uang adalah tujuan para pemain Spanyol, maka kurang tepat. Mereka berdatangan ke Gibraltar agar bisa bermain di level Eropa. Seperti diketahui, untuk bisa bermain di kompetisi Eropa bersama tim Spanyol, maka dibutuhkan kemampuan diatas rata-rata. Sementara tim dari Gibraltar bermain melawan klub-klub yang sama lemahnya atau klub semi-pro, di babak kualifikasi.
Kompetisi Eropa pun dipakai sebagai etalase bagi para pemain Spanyol agar mendapatkan tawaran yang lebih baik lagi dari klub luar negeri. Sementara bagi klub Gibraltar, penjualan pemain tentu saja menjadi pemasukan yang menguntungkan.
GFA pun sudah mulai khawatir dengan gelombang kedatangan para pemain Spanyol. Dengan terlalu membludaknya pemain luar negeri, maka ditakutkan tim nasional Gibraltar hanya akan diisi pemain-pemain amatir saja sebab para pemain muda kesulitan untuk mengecap pengalaman bermain di level klub. Sampai saat ini, GFA belum membuat aturan konkret mengenai pemain asing.
Kini, dengan terpilihnya Gianni Infantino sebagai presiden FIFA yang baru, Gibraltar mendapatkan seberkas cahaya untuk dapat bergabung dengan organisasi sepak bola terbesar itu. Apalagi dengan janji Infantino untuk memberikan uang pembinaan yang cukup besar, maka Gibraltar tidak memiliki alasan lainnya untuk menampik keanggotaan FIFA.
Akan kah negara-negara kecil di dunia bangkit di kompetisi internasional?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar