Selasa, 26 April 2016

Sepak Bola dan Politik Tiongkok

Kabar mengejutkan datang dari tanah Spanyol pada penutupan bursa transfer Januari 2016. Penyerang Atletico Madrid, Jackson Martinez dijual seharga 42 juta Euro atau sekitar 650.7 milliar Rupiah ke klub Liga Super Cina (CSL), Guangzhou Evergrande. Sebuah rekor pembelian pemain termahal bagi Liga Super Cina!


Pemain Kolombia tersebut melanjutkan tren transmigrasi pemain eropa ke CSL setelah akan Ramires, Gervinho, Fredy Guarin, Tim Cahill, Demba Ba, Asamoah Gyan dan lain-lain sudah terlebih dahulu merasakan kehidupan di Negeri Tirai Bambu tersebut.

Sampai hari ini (3/2), setidaknya sudah ada 73 pemain asing di Liga Super Cina, dengan penutupan bursa transfer yang baru akan terjadi pada 26 Februari 2016, bukan tidak mungkin jumlah itu terus bertambah.

Sebuah anomali ketika melihat begitu banyak pemain kaliber Eropa, dengan nama besar bermain di benua lain pada masa emas mereka. Anomali!

Hal ini berbanding terbalik dengan Major League Soccer (MLS) yang senang menarik pemain-pemain veteran dari eropa. Meski hal tersebut sudah mulai diperbaiki dengan kedatangan Giovinco dan kepulangan Altidore ke Toronto FC, stigma 'liga orang tua' akan tetap membekas untuk Amerika Serikat.

Seorang pemain memiliki banyak pertimbangan ketika hijrah ke tempat yang mengejutkan, kebugaran, peluang karir lain, dan uang jadi daya tarik MLS, alasan terakhir nampaknya juga berlaku untuk CSL.

Lumrah saja jika anggapan tersebut berkembang, dengan dana transfer di luar akal sehat, sudah seharusnya mereka menyediakan penghasilan lebih untuk para pemain.

Namun nyatanya revolusi sepak bola Tiongkok tidak semata-mata untuk menaikan pamor liga di mata dunia, lebih dari itu, pembelian pemain yang dilakukan klub-klub CSL merupakan sebuah aksi bela negara.

Geliat klub-klub mereka di bursa transfer beberapa tahun terakhir tidak bisa lepas dari perpolitikan Negeri Tirai Bambu. Setelah sekian tahun tim nasional Tiongkok hanya menjadi bulan-bulanan, Presiden Xi Jinping datang dan memberi perhatian khusus pada sepak bola.

                           


"Harapan terbesar saya bagi dunia sepak bola Cina adalah menjadikan tim nasional kita sebagai salah satu yang terbaik di dunia.", Ujar Xi Jinping tahun lalu.

"Sepak bola dapat memberikan peranan penting dalam menguatkan fisik masyarakat dan menginspirasi semangat perjuangan tanpa henti", Lanjutnya.

Xi Jinping sadar jika sepak bola memiliki dua sisi vital; dari sisi industri, sepak bola dapat menjadi roda perekonomian Tiongkok. Sementara untuk nilai sosial, permainan yang dikenal sebagai olahraga rakyat ini dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menggulingkan pemerintahan.

Hal itu sempat Xi Jinping rasakan pada 2002, di mana negaranya lolos ke Piala Dunia untuk tersingkir tanpa sebutir gol. Kemarahan kepada tim nasional hampir menghasilkan kerusuhan dan demonstrasi besar-besaran, di negara yang menganggap sebuah protes adalah hal ilegal, tiga pertandingan memberanikan rakyat untuk melanggar hukum. Kala itu demonstran harus berhadapan dengan aparat bersenjata lengkap guna stabilitas negara.

11 tahun kemudian, 2013 protes rakyat akan tim nasional mereka masuk ke level yang lebih tinggi. Setelah kalah dari Thailand, sekumpulan mafia memblokade kendaraan para pemain dan memaki mereka.

Oleh karenanya Xi Jinping memberikan tiga target kepada dunia persepakbolaan Tiongkok, masuk kualifikasi Piala Dunia, menjadi tuan rumah Piala Dunia dan memenangkan Piala Dunia.

Sebuah impian yang diinginkan setiap negara di dunia.

Impian tidak akan menjadi kenyataan jika tidak diimbangi dengan usaha, di sinilah kehebatan mereka terlihat. Titah Xi Jinping seakan menjadi perintah dewa yang harus diamini oleh semua lapisan masyarakat. Dari para pemimpin di pusat hingga aparat pemerintah di level provinsi, berusaha mewujudkan impian Xi Jinping dengan mencari cara agar dunia mengenal sepak bola mereka.

Hanya beberapa bulan setelah Xi Jinping membagikan mimpinya, sekumpulan aparat pemerintah langsung menganalisa kelebihan, kekurangan dan hambatan sepak bola di Tiongkok.

Hasilnya, sepak bola kini masuk dalam kurikulum nasional mereka. Rencananya, 2017 mendatang lebih dari 20.000 sekolah sepak bola akan dibuka dan menghasilkan 100.000 pemain.

Pemerintah Tiongkok sadar, dengan populasi penduduknya yang tinggi, pencarian bakat akan tetap sulit jika tidak didukung sarana memadai. Oleh karenanya pemerintah telah mengucurkan 4.6 miliar Poundsterling (98 triliun Rupiah) untuk membuka 50 lapangan sepak bola di satu lokasi yang dapat menampung 2.400 pemain.

Tidak berhenti sampai di situ saja. Pemerintah kemudian mengeluarkan program belajar sepak bola di luar negeri agar bakat yang sudah ada bisa diasah dan mendapatkan pengalaman di level yang berbeda.

Seorang pesepakbola muda juga akan dipermudah untuk masuk universitas dengan tes kemampuan olah bola, dan terakhir, yang kini kita rasakan adalah kemudahan klub membeli pemain bintang.

Melihat kebijakan pemerintah, beberapa pengusaha menyeburkan diri untuk meraup keuntungan. Beberapa perusahaan melakukan penawaran pembelian hak siar Liga Super Cina. Pemenangnya adalah sebuah perusahaan yang relatif tidak dikenal, Tiao Power.

Tiao Power sukses mengalahkan Great Sport Sahnghai yang menawar 4,3 miliar Yuan, CCTVSE sebesar 4 miliar dan GDTV sebesar 1,74 miliar. Perusahaan milik Li Ruigang (Rupert Murdoch-nya Cina) ini, melampaui para pesaingnya dengan melempar delapan miliar Yuan untuk durasi lima tahun!

Sebelumnya pada 2015 Tiao Power telah melengserkan Asosiasi Sepak Bola Tiongkok (CFA) terkait hak siar tim nasional dengan membayar 70 juta Yuan atau lebih dari 152 miliar Rupiah dari CCTV.

Keoptimisan Tiao Power bukan tanpa alasan. Mereka mungkin akan mengalami kerugian pada tahun-tahun pertama, tapi bagi seorang pengusaha, keuntungan jangka panjanglah yang dicari. Apalagi dengan kian banyaknya pemain asing berkelas di CSL, maka jumlah penonton-pun berpeluang membludak.

Fenomena tingginya hak siar ini membuat banyak pihak bingung.

"Ini adalah hal yang tidak biasa terjadi di sini [Tiongkok], jika kita sedang membicarkan nilai hak siar liga lokal.", Ujar Peter Schloss, CEO dari CastleHill Partners.

Tanyakan Didier Drogba dan Nicolas Anelka mengenai petualangan keduanya di Tiongkok. Maka keduanya akan sepakat jika kipasan Yuan hanyalah buaian semata.

Mereka tidak digaji sebagaimana yang telah dijanjikan sebelumnya.

Terlepas dari keoptimisan proyek pendidikan usia muda, akan kah banyaknya pemain asing dan besarnya hak siar memiliki pengaruh besar pada kemajuan dunia sepak bola Tiongkok?

Banyak pesepakbola dan pelatih Cina yang mempertanyakan perputaran uang di Liga Super Cina. Jumlah Yuan yang diinvestasikan seakan menutup kebobrokan. Sebagian diantaranya menyalahkan kebiasaan keluarga Tiongkok yang memanjakan buah hati mereka dibanding memperbolehkannya untuk berkeringat menendang bola. Ada pula korupsi dan pengaturan skor yang merebak di dunia sepak bola Tiongkok.

Sebagian kecil analisis olahraga dengan berani menuduh sistem perpolitikan Tiongkok sebagai penyebab keburukan sepak bola Cina, sebagaimana ketimpangan sosial di Negeri Panda tersebut.

"Xi adalah pribadi yang ambisius. Jika dia bisa membuat proyek ini sukses, ia akan menjadi pahlawan Cina.", Ujar Xu Guoqi, seorang pengajar di Universitas Hong Kong.

Saat ini Tiongkok memang masih belum menunjukkan kualitas sepak bola mereka kepada dunia. Sejak memasuki era millenium, hanya Guangzhou Evergrande wakil yang berjaya di kompetisi Asia. Itupun berkat pengaruh besar sepak bola Italia dan Brazil yang membangun fondasi klub.

Kini setidaknya Tiongkok mulai beraksi, Xi Jinping membuktikan bahwa mimpi bukanlah sebuah lagu untuk dinyanyikan tapi tugas untuk diwujudkan.

Revolusi sepak bola telah terjadi, dan beberapa tahun ke depan, kita akan mengingat Negeri Tirai Bambu sebagai daerah yang berani turun ke lapangan, tak hanya di pinggir, bangku VVIP atau layar kaca.

Semoga saat itu terjadi, kita juga telah melakukan hal yang sama.



*diterbitkan pada 03/02/2016

Tidak ada komentar: