Selasa, 26 April 2016

Sepak Bola Tiongkok dan Hambatan Masa Lalu

Federasi Sepak Bola Belanda telah menemukan bukti baru terkait keterlibatan mantan pemain Willem Tilsburg (Willem II), Ibrahim Kargbo dalam percobaan pengaturan skor di laga Willem II melawan FC Utrect, Agustus 2009 silam. Meski Kargbo menolak tuduhan tersebut, tapi namanya pernah tercoreng dengan kasus serupa di tim nasional Sierra Leone pada ajang Piala Afrika.

Disinyalir Kargbo diminta oleh mafia skor asal Singapura, Wilson Raj Perumal, untuk mengalah dari Utrect dengan selisih dua gol. Status Perumal saat ini adalah sebagai saksi yang dilindungi di Hungaria setelah sempat menikam dua tahun dalam penjara Finlandia. Ia mengungkapkan banyak kasus untuk melawan rekan seprofesinya, seperti Dan Tan, sindikat pengaturan skor terbesar dan teragresif di dunia yang kini telah ditangkap.

Menurut penyelidikan pihak kepolisian, pemilik nama asli Tan Seet Eng ini memiliki hubungan erat dengan mafia Tiongkok bernama Dark Brother yang memiliki jaringan judi daring (online) dan mengatur jalannya pertandingan-pertandingan di laga tertentu pada Piala Dunia Afrika Selatan, 2010 lalu.

Ah Tiongkok. Negara yang sedang berjuang membangun dominasi sepak bola di Asia dan di dunia.

Pengaturan skor menjadi hambatan terbesar bagi sepak bola di banyak negara, baik itu di level klub atau tim nasional. Mulai dari tingkat liga per daerah atau regional, hingga divisi tertinggi. Godaan untuk masuk ke dalam permainan lingkar setan ini begitulah besar, apalagi di Tiongkok.

Pada Forum Asia Soccerex di Jordan tahun lalu, Chris Eaton dari Pusat Internasional untuk Keamanan Olahraga (ICSS) mengatakan bahwa Tiongkok dan India memiliki tingkat risiko pengaturan skor terbesar di dunia.

Bahaya laten pengaturan skor di Tiongkok terlihat dengan jelas saat Federasi Sepak Bola Tiongkok menghukum 58 oknum dan 12 klub mereka pada 2012. Total 33 orang dilarang untuk ikut serta dalam dunia sepak bola.

Oknum-oknum yang dihukum Federasi Sepak Bola Tiongkok berasal dari berbagai kalangan, termasuk anggota eksekutif mereka sendiiri, Nan Yong dan Xie Yalong. Keduanya dihukum 10 tahun penjara karena menerima suap sebesar 401.000 USD.

Efek dari pengaturan skor dan penyuapan tersebut sangat terlihat jelas. Skandal terbesar dalam dunia sepak bola Tiongkok ini menurunkan jumlah kedatangan suporter ke stadion, hingga 30% karena kecewa dan mempertanyakan integritas Liga Super Tiongkok.



Liga Super Tiongkok (CSL) memang sedang berusaha meningkatkan kualitas mereka dengan kedatangan pemain kualitas Eropa akhir-akhir ini, akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan akan pengaturan skor. Bahkan memperkuatnya. Salah satu alasannya adalah kesenjangan gaji yang diterima pemain lokal dengan asing.

Kegemerlapan CSL dalam pembelian pemain mahal, seakan menutupi kebobrokan klub-klub dalam memenuhi hak para pemain. Semasa kedatangan Drogba dan Anelka ke Negeri Tirai Bambu, keduanya kecewa setelah apa yang dijanjikan oleh klub tidak terwujud.

Hal serupa nyatanya sudah sering terjadi kepada pemain lokal yang memiliki gaji lebih rendah dari mereka. Gagal memenuhi kebutuhan hidup dari lapangan, tawaran dibalik layar akhirnya diterima agar dapat menyiadakan makanan di atas meja.

Menurut salah seorang pesepakbola yang sudah pensiun, pengaturan skor memang kerap terjadi di Tiongkok. Bagi pemain yang tidak terkenal dan sering berada di bangku cadangan, jumlah 200 pounds atau sekitar 3.8 juta Rupiah perbulan bisa didapatkan dengan mudah dari suap. Cukup untuk menghidupi keluarga untuk satu bulan, sebelum gajinya dibayar lunas oleh klub.

Sedangkan bagi pemain terkenal, nominalnya tentu saja berbeda. Perbedaan harga juga ditentukan dari kepentingan laga. Mereka bisa mengantongi lebih dari 95 juta Rupiah dalam laga krusial.

Bahkan jika ingin tampil di tim nasional, mereka harus membayar 200 ribu Rupiah terlebih dahulu sebelum mengenakan seragam kebangaan. Modal tersebut tentu bisa kembali di lapangan.

Sejak era 90-an, pemerintah memperbolehkan klub-klub milik mereka untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan besar dalam hal sponsor dan investasi. Sayangnya, ada efek lain yang muncul, yaitu meroketnya jumlah penjudi dan penyuapan.

\Tiongkok telah menggalakan hukum anti korupsi, dan berhasil menekan angka judi dan penyuapan pemain akan tetapi, itu bukanlah solusi.

Meski Presiden Xi Jinping menginstruksikan kebangkitan dunia sepak bola Tiongkok demi alasan politik dan ekonomi, masalahnya terletak pada keterlibatan Sang pemimpin negara serta sistem yang dianut.

Seperti yang dikatakan Ma Dexing dari Titan Weekly, "Federasi Sepak Bola Tiongkok hanya menghukum ofisial, pemain, tim dan wasit yang terlibat. Akan tetapi aparat pemerintah tidak tersentuh. Padahal merekalah yang mengatur segalanya di balik layar," (Guardian).

Bukan hanya megatur siapa yang menang dan kalah, aparat pemerintah ikut turun tangan menentukan siapa saja yang harus ditaruh di lapangan.

"Mereka bisa meminta pelatih untuk menendang pemain yang tidak mendengarkan dirinya," ungkap Ma.
10 tahun yang lalu, perusahaan pembuat kendaraan Geely mengundurkan diri dari kesepakatan sponsor dengan salah satu klub Tiongkok karena tingginya korupsi dan penyuapan oleh aparat pemerintah.

Bagi aparatur pemerintah daerah, sepak bola dipakai sebagai alat menjalin hubungan politik dan tidak ada hubungannya dengan uang. Lalu dari mana oknum pemerintahan memiliki dana untuk meyuap?
Menurut laman The New Yorker, penggunaan uang pemerintah tidak mendapatkan pengawasan dari lembaga yang memiliki akuntabiltas.

Seperti ditulis di artikel sebelumnya, tiga fatwa Xi Jinping lebih diarahkan untuk menjaga kediktatoran faham komunis, maka tak heran jika bawahannya ikut menggunakan cara serupa.

Pengejaran kepada pelaku pengaturan skor terus dilakukan oleh Federasi Sepak Bola Tiongkok, tapi sejarah mengajarkan bahwa di mana ada perputaran uang berjumlah besar, maka akan selalu ada pihak-pihak yang memiliki kepentingan, demi kekayaan dan demi kekuasaan.




*Diterbitkan pada 21/02/2016

Tidak ada komentar: