Tak bisa dipungkiri, sepak bola kini telah menjadi sebuah industri, dengan pengaruh globalisasi olah raga antara 22 pemain ini berubah menjadi lahan perputaran uang.
Dalam sepak bola, ada anggapan bahwa jumlah investasi akan berbanding lurus dengan kans sebuah tim untuk juara. Meski saat ini Leicester City menunjukkan hal berbeda, pandangan tersebut tetap hidup di luar lapangan. Buktinya, dalam lima tahun terakhir, liga-liga top Eropa tetap didominasi oleh mereka yang berani menghabiskan uangnya untuk mendatangkan pemain kelas dunia.
Awal 2016, dunia sepak bola digegerkan oleh pergerakan Negeri Tirai Bambu, Tiongkok yang berhasil meyakinkan pemain-pemain kelas UEFA Champions League untuk bermain di tanah mereka dengan godaan Yuan.
Hanya tinggal menunggu waktu bagi klub-klub Tiongkok mengganti idealisme pemain dari romantisme tradisional membela sebuah klub dan masuk ke tim nasional, menjadi pemuja kapitalisme dalam bentuk slip gaji.
"Sebuah realita terbaru akan segera terwujud. Akan ada banyak yang berubah kala klub-klub Tiongkok bukan hanya bisa bersaing dengan klub Eropa, tapi juga mengalahkan mereka di bursa transfer.", Ujar Mads Davidsen, pegawai Sven Goran Eriksson di Shanghai SIPG kepada Goal.
Betul apa yang dikatakan Davidsen. Jika dahulu Eropa menjadi tujuan destinasi para pesepakbola Afrika, Asia dan Amerika Selatan demi penghidupan yang layak, maka dalam satu atau dua musim ke depan, Tiongkok bisa berubah menjadi El Dorado. Sebuah tambang emas mistis yang menjanjikan kekayaan dan kesejahteraan.
Bagi pesepakbola yang berasal dari negara berkembang, Tiongkok menjadi surga yang harus dicapai agar dapat memperbaiki taraf kehidupan. Salah satunya Brazil.
Hingga kini sudah ada 25 pemain Liga Super Tiongkok (CSL) berasal dari Brazil. Mereka menjadi penyumbang pemain asing terbanyak di Tiongkok, bahkan tiga kali lipat lebih dari eksportir kedua, Australia dan Korea Selatan yang masing-masing menyumbang tujuh talenta.
Ahli ekonomi sekaligus manajer Arsenal, Arsene Wenger khawatir dengan pergerakan sepak bola Tiongkok. Menurutnya negara tersebut sudah mengguncangkan kestabilan yang ada.
"Saya rasa Premier League harus khawatir dengan pergerakan Tiongkok."
"Mereka sepertinya memiliki kemampuan finansial yang besar untuk memancing setiap pemain di Eropa agar bermain di Tiongkok. Mereka memiliki kekuatan ekonomi," kata pelatih asal Perancis ini.
Curahan hati Wenger betul, tapi kurang tepat. Pasalnya, sebelum Tiongkok melakukan revolusi di lapangan hijau, para pengusaha dari negara terluas di Asia ini sudah menancapkan kukunya di sepak bola Eropa.
Wing Jialin, salah satu orang terkaya di Tiongkok, menginvestasikan 52 juta Poundsterling di Atletico Madrid, Lalu ada pula China Media Capital yang membeli 13% saham Manchester City dari City Football Group. Belum lagi Rastar Group yang memiliki 45,1% dari saham RCD Espanyol dan PPTVSports peminat saham Granada CF.
Raksasa Katalan, FC Barcelona sempat mengeluarkan kebijakan untuk mencegah kegilaan pengusaha-pengusaha asing seperti Tiongkok.
Pada 2011, Sandro Rosell membatasi pendaftaran keanggotaan klub (socio) hanya untuk orang-orang Spanyol dan Katalan karena takut Barca dikuasai oleh masyarakat Timur Jauh yang tidak faham ideologi klub. Peningkatan jumlah pendaftaran anggota di Tiongkok kini hanya dianggap sebagai objek sapi perah semata. Sebuah langkah chauvinisme yang dilandasi phobia.
Melihat kebijakan klub-klub Eropa, Davidsen mengatakan bahwa mereka takut akan perubahan. Hal normal yang sebenarnya tidak perlu dicemaskan.
Eropa, benua yang dipenuhi oleh negara-negara predator sepak bola seharusnya tidak pelu khawatir. Menurut hukum ekonomi, besaran investasi sejalan dengan tuntutan meraih kemenangan. Tidak ada investasi tanpa mengharapkan timbal balik. Mungkin tidak satu atau dua musim ke depan, namun tetap saja: Wajib balik modal!
Setelah melihat geliat CSL, ada semacam keraguan yang muncul untuk jangka panjang. Salah satu bukti keraguan itu adalah perputaran uang di CSL (penjualan tiket, merchandise dan iklan) tahun lalu yang hanya meraup 3,4 triliun US Dollar. Jauh di bawah Major League Soccer (MLS) milik Amerika Serikat, "liga orang tua" satu ini berhasil mendapatkan 63,6 triliun US Dollar, padahal sepak bola bukanlah olahraga utama mereka.
Mungkin kalian berpikir bahwa CSL baru saja merombak liga mereka tahun ini, sehingga 2015 bukanlah indikator yang tepat untuk melihat angka pemasukan. Andai hal itu sebuah kenyataan..
Sayangnya CSL sudah mulai membenahi liga mereka dengan peningkatan kualitas pemain sejak beberapa musim lalu. Paulinho, Demba Ba, Lucas Barrios, Seydou Keita, Tim Cahill, Diamanti, hingga Vagner Love tidak didatangkan pada bursa transfer kali ini, beberapa di antara mereka bahkan sudah ada yang kembali ke Eropa.
Meskipun begitu negara yang disebut Sepp Blatter sebagai asal usul sepak bola ini masih berada di bawah bayang-bayang rival abadi, Amerika Serikat. Untungnya optimisme dapat mereka raih melalui data Football Economy. di mana Tiongkok merupakan pasar ketiga dunia yang berkembang pesat. Hal ini membuat mereka menjadi salah satu tujuan favorit klub-klub Eropa untuk menjalani tur pra-musim.
Rasa-rasanya berlebihan jika ada pemikiran Tiongkok bisa mematikan klub Eropa melalui uang. Sebaliknya, klub Eropa mendapatkan suntikan dana besar dari Tiongkok, dengan merelakan pemain mereka pergi.
Bagaimana-pun, Eropa masih menjadi batas tertinggi sepak bola, tujuan utama pemain untuk mendapatkan ketenaran serta hidup layak.
Eropa telah teruji waktu, beberapa negara sudah membentuk asosiasi sepak bola sebelum Perang dunia pertama, sebagian juga sukses merdeka dan membuktikan diri bahwa mereka tak terbayangi oleh tim nasional pendahulunya. Anggap saja Tiongkok sebagai sumber dana tambahan ketika UEFA telah membatasi pengeluaran klub-klub Eropa, masih ada Negeri Tirai Bambu yang berani membeli banyak pemain dengan harga di luar akal sehat.
*Diterbitkan pada 14/02/2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar