Sabtu, 20 Agustus 2016

Internet dan Sepak Bola

Selain sepak bola, apalagi penemuan manusia yang bisa masuk dalam kategori "terbaik" ?Roda ? Api ? Lampu ? Kalian sebutkan terus dan suatu saat pasti akan ada kata internet terucap. 


Ya, sebuah jaringan yang pada awalnya digunakan sebagai alat komunikasi militer kini menjadi fasilitas terkrusial bagi hidup banyak orang. Bahkan filsuf asal Kanada, Marshall McLuhan mengatakan internet akan menjadi perpanjangan kesadaran manusia, dan menjadikan dunia layaknya desa kecil. 'Global Village', kata McLuhan.

Internet juga telah membantu pengembangan teknologi lain, sebut saja telepon, atau pengiriman pesan teks jarak jauh, kini semakin mudah berkat peran jaringan ini digunakan sebagai sarana komunikasi. Mulai dari Netscape (1994), Internet Explorer, Firefox, hingga Opera Mini, Safari dan Google Chrome, internet sudah menjadi perpanjangan tangan manusia untuk mengetahui informasi di belahan dunia lain.

Tak heran jika perannya sangatlah besar untuk berbagai kalangan, tak peduli seberapa kaya anda, atau setinggi apa pendidikan yang ditempuh, internet tetap dibutuhkan. Buktinya, tahun ini kementrian negara kita telah menyiapkan tiga triliun Rupiah untuk melanjutkan program Kewajiban Layanan Universal atau Universal Service Obligation (USO), dengan memasok akses internet ke pelosok-pelosok negeri.

Bagi dunia sepak bola, jasa internet telah memudahkan penikmatnya untuk saling berinteraksi. Entah itu melalui layanan mengobrol, chatting, atau sosial media layaknya Twitter, Facebook, atau Youtube. Keberadaan internet juga telah memberi tempat untuk media-media konvensial untuk berpindah lapak ke dunia maya. Meski sering kali mematikan usaha di dunia nyata, berubah menjadi media dalam jaringan atau 'daring' membuat mereka lebih mudah diakses oleh para pembaca.

Bagi klub, dunia maya menjadi lahan basah yang dapat dipergunakan untuk meraup jumlah massa dan uang. Tidak heran jika Florentino Perez yang baru naik menjadi presiden Real Madrid pada tahun 2000, menjadikan internet sebagai salah satu pemasukan klub dengan menjual hak citra pemain.

Banyak klub melakukan ekspansi di laman resmi mereka dengan menyediakan laman berbahasa tertentu. Bahasa Arab, Tiongkok, Indonesia, Perancis, Spanyol, Rusia, Portugal, menjadi bahasa favorit klub sepak bola disamping bahasa Inggris. Semua demi faktor ekonomi, bisnis, dan sosial.

Klub-klub Eropa bahkan pernah menyewa jasa sebuah perusahaan kecil dari Birmingham, Inggris, yaitu ProScout7 untuk mencari pemain berbakat di seluruh dunia. Lebih dari 60 klub menggunakan jasa mereka untuk melakukan seleksi pemain.



Bayangkan, ada 70.000 pesepakbola dari 120 negara yang diberikan oleh 25 koresponden ProScout7.

Bagi penikmat sepak bola, kehadiran internet sangatlah membantu. Menjadi penikmat sepak bola tidak berlangsung selama 90 menit, tapi juga sebelum pertandingan dan sesudahnya. Informasi yang dibutuhkan tak akan pernah cukup sehingga mereka butuh tempat mengakses info-info terbaru dengan cepat.

Layaknya media profesional yang telah ada sejak era konvensial, keberadaan sosial media dapat membantu para suporter membangun jaringan mereka sendiri. Sialnya, fans sepak bola sering kali terpecah di media sosial, bukan sekedar bertukar pikiran atau debat, sarana ini digunakan untuk menyudutkan, menghakimi pihak yang tak sependapat dengan mereka. Yup, 'cyberbullying'.

Lihat saja bagaimana presenter ITV direndahkan fans sepak bola karena beropini.

Jika di dunia nyata para suporter ultras atau hooligan yang mengambil pentas kekerasan, maka 'keyboard warrior' mengambil alih daerah virtual. Menurut Urban Dictionary, definisi keyboard warrior adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik, atau tidak berani mengambil risiko melakukan kekerasan di dunia nyata, sehimhha melampiaskannya di depan keyboard.

Bedasarkan Liraz Margalit dalam tulisannya, "Psikologi Dibalik Interaksi Sosial Media", kemudahan kita dalam berekspresi di dunia maya dibantu oleh interaksi dengan benda mati. Komputer atau telepon genggam tak dapat membaca komunikasi non verbal, layaknya gestur atau kontak mata sehingga rasa takut hilang dengan mudah.

Fenomena ini menjadi pemandangan sehari-hari di dunia virtual. Menurut survey, 33% pengguna sosial media pernah menjadi korban dan 95% melihat tindakan tersebut. Miris!

Jaringan internet mungkin membantu kita untuk menggali informasi, dan mengetahui keadaan dunia, tapi dengan akses yang mudah bukan berarti penggunanya bijaksana. Masih banyak individu yang terkungkung oleh logika falasi, egosentris, intoleran, kebanggaan berlebih dan salah dalam menyampaikan pendapat.

Bertolak belakang memang, dan oleh karena itu kita harus melek akan media, bukan hanya secara kemampuan menggunakan teknologinya, tapi juga moral, dan etika dalam penggunaanya.

Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) dikenal sebagai badan yang sering kali memberi denda kepada pemain karena perilaku mereka di dunia maya. Bahkan bek Leicester City, Robert Huth pernah didenda karena bermain tebak-tebakan jenis kelamin. Tebak-tebakan!

Serupa dengan laman pornografi. Pemerintah Indonesia mungkin bisa memblokir aksesnya, tapi banyak pula yang bisa meloloskan diri. Penggunalah yang menjadi batas, konten apa yang ingin dan layak mereka akses ?

"It's not the gun that kills, but the man behind."

Meski fenomena cyberbullying sering terjadi, tak semua pemilik akses internet melakukannya. Dalam sepak bola, ada sebuah asosiasi yang menamakan diri mereka IFA, Internet Football Association. Mereka melakukan kompetisi untuk suporter di Inggris, dan memiliki motto, "Sepak bola Internet bukan tentang kemenangan, tapi membangun jembatan antara sesama suporter sepak bola, termasuk rival.".

Insipiratif bukan ?

Internet dan kebebesan informasi adalah salah satu nikmat kehidupan yang kita miliki saat ini. Jadi nikmat manakah yang (mau) kamu dustakan (lagi) ?



*Diterbitkan pada 18/02/2016 
*Diedit oleh @Adrieedu 

Tidak ada komentar: