Sabtu, 20 Agustus 2016

Sepak Bola: Panggung Terbaik Teroris

Jelang perhelatan Euro 2016, situasi keamanan di Eropa dan dunia dalam kondisi kritis. Beberapa ledakan terjadi di Eropa dan Asia. Sialnya insiden-insiden tersebut terjadi di dekat stadion sepak bola, kebetulan?


Sabtu (26/03), Irak berduka setelah sebuah bom meledak di Kota Iskandariyah. Aljazeera melaporkan, setidaknya 29 orang tewas dan 95 lainnya mengalami luka-luka. Kelompok radikal, ISIS kembali mencuri perhatian setelah mengaku bahwa diri merekalah yang bertanggung jawab atas insiden memilukan tersebut.

Bom meledak di Irak kala kerumunan orang sedang bersatu, merayakan upacara sepak bola lokal. Kecaman-pun muncul dari dunia internasional,  termasuk perwakilan PBB untuk Irak, Jan Kubis.

"Hari ini, ISIS melakukan kekejaman lainnya. Mengincar masyarakat yang sedang menikmati akhir pekan di stadion. Tindakan ini sangat menjijikan!", Ujarnya.

Ada indikasi bahwa ledakan tersebut menjadi aksi balas dendam setelah pihak militer dari Irak dan suku Sunni mengumumkan keberhasilan mereka mengusir ISIS di kota Kubeisa.

Amerika Serikat yang menjadi pemimpin sekutu melawan ISIS mengatakan para teroris telah kehilangan 40% dari daerah kekuasaannya di Irak. Mereka membantu militer dan Sunni lewat serangan udara, tapi para ahli keamanan mengaku hal itu hanya akan memberi serangan balik dari ISIS, dan itu benar-benar terjadi.

Ledakan di Irak hanya berselang beberapa hari dari bom Brussels, Belgia dan Ankara, Turki. Ledakan di bandara Brussels terjadi menjelang laga pershabatan antara Belgia dan Portugal yang memaksa Moussa Dembele dan kawan-kawan harus menyabangi Leiria, dan bertindak sebagai tamu pada laga tersebut.

Sementara ledakan di Ankara menghilangkan nyawa ayah Umut Bulut, dan membatalkan laga panas, Galatasaray melawan Fenerbahce. "Petang ini pertandingan antara Galatasaray dan Fenerbahce, harus ditunda hingga putusan pemerintah.", Tulis Federasi Sepak Bola Turki di laman resminya.

Harian Hurriyet mengabarkan bahwa intelejen mendapat kabar bahwa ISIS akan menyerang pertandingan tersebut. Sama seperti serangan di Paris yang menewaskan 130 orang tahun lalu.

Laga tersebut sebelumnya akan tetap digelar tanpa penonton, tapi pihak federasi takut hal itu menimbulkan pertentangan baru antara aparat dan supporter. Akhirnya, pembatalan laga menjadi pilihan terbaik yang bisa diberikan oleh mereka.

Aksi teror yang melibatkan dunia sepak bola dan olahraga pertama kali terjadi pada Olimpiade  1972. Kabarnya simpatisan kemerdekaan Palestina menyandera dan membunuh 11 anggota Olimpiade Israel.

Insiden tersebut diliput oleh stasiun televisi yang kebetulan sedang bertugas menanyangkan Olimpiade, dan imbasnya sangatlah besar. Tragedi di Munich membuat dunia sadar akan konflik antara Israel dan Palestina.

Pertempuran yang belum selesai hingga detik ini.

Teror pada Olimpiade 1972 diangkat ke layar lebar oleh Steven Spielberg dengan sebuah film berjudul “Munich”. Eric Bana dan kawan-kawan mendapatkan lima nominasi untuk Academy Award, termasuk film terbaik 2005, namun mereka tidak satupun Piala Oscar yang mereka bawa pulang.

26 tahun kemudian, teror kembali terjadi, dan kali ini di ajang sepak bola terbesar dunia, World Cup 1998.

100 orang dari tujuh negara ditangkap pihak keamanan karena merencanakan aksi teror. Cerita teror di Perancis didokumentasikan oleh Adam Robinson dengan buku berjudul “Terror on The Pitch”.

Dalam bukunya, ia bercerita bagaimana Armed Islamic Group of Algeria (AIG) sempat mengancam pertandingan Inggris-Tunisia. Setelah sebelumnya hooligan, suporter garis keras, Inggris sempat bentrok dengan pendukung Russia.

Robinson menceritakan bagaimana AIG berencana menyerang pertandingan, dan di waktu bersamaan mendatangi penginapan tim nasional Amerika Serikat, dan juga membajak pesawat untuk ditabrakan ke pembangkit tenaga nuklir Perancis.

Aksi tersebut gagal terlaksana, tapi balas dendam tetap dilancarkan dengan aksi yang lebih menghebohkan, 9/11. Yossef Bodansky yang menulis biografi Osama Bin Laden mengatakan serangan Twin Tower yang menewaskan 224 orang merupakan cara mereka menebus kegagalan pada Piala Dunia 1998. SADIS!

Enam tahun kemudian, tiga anggota kelompok ekstrimis Islam di tangkap di Belanda.

Mereka diduga merencanakan penyerangan terhadap Perdana Menteri Portugal, Jose Manuel Barosso dan petinggi lainnya saat ajang Euro 2004.

Andai kata hal itu sukses dilakukan, mungkin kita tak akan mengenang Euro 2004 sebagaimana yang ada di ingatan sekarang, tapi pertanyannya, kenapa para teroris mentargetkan stadion sepak bola? Apakah mereka tidak menyukai salah satu tim?

Serangan AIG yang ditujukan pada tim nasional Amerika Serikat pada 1998 bisa menjadi indikasi, tapi lebih dari itu, sepak bola merupakan olahraga yang selalu meraup banyak massa.

Setiap pertandingan besar digelar, hampir 80% stadion terisi, laga itu juga disiarkan televisi yang membangikannya ke miliaran pasang mata di seluruh dunia.

Bagi kelompok teroris, publikasi adalah hal terpenting!

Semakin banyak orang yang merasakan teror, semakin sukses pekerjaan dan pengorbanan mereka. Sepak bola adalah tempat yang sangat pas untuk mendapatkan hal tersebut.

Khusus untuk ISIS, organisasi yang berada di Suriah dan Irak ini tidak menyukai paham multikultural.

Perancis yang memiliki banyak muslim, menjadi target. Begitu pula Irak, Saudi Arabia, Turki dan Indonesia. Empat negara di atas memang didominasi penduduk muslim, tapi paham liberal dan prulalisme yang tercemin dari mereka tidak sesuai dengan keinginan ISIS.

Bagi ISIS, pluralisme adalah penyakit dan musuh dari kekhalifahan yang mereka anut. Baik itu sesama muslim atau non-muslim, selama mereka menganut pluralisme dan tidak menterjemahkan Islam serupa dengan pandangan ISIS, sama saja dengan musuh.

Sepak bola sebagai olahraga rakyat tidak memandang suku, agama, ras, pendidikan, ataupun ekonomi. Walaupun mendukung tim masing-masing, semua orang duduk di tribun, bernyanyi, dan menghabiskan waktu menikmati hiburan paling merakyat sedunia.

Kini turnamen sepak internasional terdekat adalah Euro 2016, dam akan digelar di Perancis kurang dari tiga bulan lagi, yang kita tahu, Benua Biru nyatanya telah menjadi incaran ISIS sejak tahun lalu.

Semua langkah preventif juga telah disiapkan oleh pihak-pihak bertanggungjawab, tapi bukan berarti serangan tidak bisa dilakukan.

Secara logika, jika pihak teroris sudah melakukan pemanasan di laga uji coba layaknya negara-negara peserta, mereka seharusnya akan menunjukkan kemampuan yang lebih menakutkan dibanding bom Paris, Brussels, dan Ankara. Sama seperti sepak bola, uji coba hanyalah tes kemampuan.

10 Juni sampai 10 Juli mendatang, tapi siapakah yang akan disorot dan menikmati kejayaan ?

Sepak bola atau teroris ?



*Diterbitkan pada 29/03/2016
*Diedit oleh @Adrieedu 

Tidak ada komentar: