Mayoritas dari kita tentu setuju bahwa sepak bola lebih dari sekedar permainan, bahkan sebagian suporter menganggapnya sebagai agama. Fanatisme akan sepak bola telah berubah dari kebanggan membela tim impian menjadi materialistis. Demi uang.
Ya, kalimat serupa sempat tertulis di artikel lain, tapi cobalah untuk sejenak melupakan perputaran uang dalam revolusi liga Negeri Tirai Bambu, dan kembali ke benua sepak bola terbaik, Eropa.
Benua Biru akan selalu menjadi tempat impian bagi pesepakbola, tak heran jika banyak pemain Amerika Serikat, Asia, hingga Afrika berbondong-bondong merantau ke Eropa demi menitis karir sepak bola mereka.
Sayangnya, tak semua negeri yang berada di Eropa memiliki kualitas sepak bola seperti Inggris, Spanyol atau setidaknya Perancis. Jika diperhatikan dengan baik, liga-liga sepak bola terbaik Eropa berasal dari wilayah Barat, di arah berlawanan, Timur, sepak bola tidak seindah yang kita kenal.
Satu contoh paling ketara datang dari Rumania. Negara peserta Piala Dunia 1998 ini sedang mengalami krisis karena banyak klub tidak dapat memenuhi kebutuhan para pemain.
Para pemain dari klub divisi dua, Metalul Resita sempat mengadakan unjuk rasa setelah 10 bulan tidak dibayar pihak klub. Meski demonstrasi mereka hanya berlangsung tiga menit, aksi tersebut cukup sukses menarik perhatian media-media lokal. Uniknya lagi, pemilik klub, Catalin Rufa secara terbuka menghukum semua pihak yang terlibat dalam demonstrasi tersebut.
"“Siapapun yang ikut melakukan protes, akan menyaksikan laga dari tribun dan bermain untuk tim junior.”, Ungkap Rufa kepada ProSport.
Masih dari divisi dua Rumania, pemain FC Brasov, Razvan Avram tidur di ruang ganti setelah dana yang diberikan klub tidak cukup untuk mendapatkan 'kasur' yang layak. Ia mengakui bahwa tidur di ruang ganti klub merupakan keputusan pribadinya, namun hal itu didasari kegagalan klub memberi tempat yang layak.
Untuk memperburuk suasana, sehari setelah kabar tentang Avram muncul (6/11/15), pabrik roti didekat stadion mengalami kebakaran dan melumpuhkan daerah tersebut untuk beberapa saat.
Sebelumnya klub divisi tertinggi Rumania, Astra Giurgiu menjual kendaraan klub untuk tetap bisa hidup. Kini mereka selalu bertandang menggunakan kereta umum.
Jika kalian bingung mengapa para pemain masih tetap bertahan dalam klub yang krisis, jawabannya bukan kesetiaan. Melainkan aturan Rumania menyebutkan bahwa setiap tim tidak harus melepas pemain mereka asalkan sudah melaporkan kondisi mereka.
Presiden dari asosiasi pemain Rumania, Emilian Hulubei sudah berjuang keras demi hak pesepakbola, sayangnya hal itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak pihak dan aturan yang membuat pesepakbola Rumania wajar diperlakukan seperti budak.
Kasus perbudakan dalam sepak bola sebenarnya merupakan cerita lama, tapi hal ini dianggap tabu oleh berbagai pihak yang hasu akan kemenangan dan pengakuan diri.
1997, seorang profesor dari Universitas Leuven, Belgia bernama Roger Blanplain mengungkapkan jika dunia sepak bola merupakan bentuk perbudakan modern. Agen dan klub kerap menjadi pelaku, di mana sang korban adalah para pemain, terutama mereka yang masih muda.
"Metode yang dilakukan klub dan agen merupakan bentuk dari perdagangan budak, seseorang dibeli secara murah dan dijual mahal. Hal itu sangat melanggar prinsip dasar bahwa manusia bukanlah barang dan ini harus dilawan dengan cara radikal.", Ujarnya seperti dikutip dari Independent.
Cara radikal yang dimaksud Blanplain adalah mengajukan surat kepada penuntut umum pengadilan di kota Antwerp dan Bruges untuk melakukan penyelidikan kepada para pemain dari Eropa Timur.
Kekhawatiran Blanplain diawali setelah dirinya membaca artikel di koran Het Nieuwsblad yang menjelaskan perihal eksodus besar-besaran pesepakbola dari Timur Eropa memasuki Belgia.
Mungkin Blanplain pada awalnya hanya khawatir kepada perkembangan sepak bola Belgia sehingga hanya menunjuk pemain Eropa Timur. Padahal ada satu daerah lagi yang sangat mengkhawatirkan. Daratan yang sering disebut dunia ketiga, Afrika.
1999, Serge Nijki Bodo, seorang pesepakbola asal Kamerun mencoba mencari peruntungan di Belgia. Ia merantau dari negaranya ke Belgia saat masih berusia muda, 17 tahun.
Serge ditemukan seorang pemandu bakat saat sedang bermain di Ibu Kota Kamerun, Yaounde, dan dijanjikan untuk membela klub Perancis, Montpellier. Serge memang mendapat masa percobaan di Montpellier, tapi bukan berarti klub Perancis itu akan menyodorkan kontrak. Dari sini lah "petualangan" Serge memburuk.
Tidak diterima Montpellier, nasib Serge terkatung-katung. Klub divisi dua Belgia kemudian menyatakan minat mereka untuk merekrut Serge. Ia memperoleh visa selama tiga bulan untuk menjalani latihan di Belgia, dan lagi-lagi, Serge gagal mendapatkan kontrak profesional.
Ia kemudian kembali ditawari kesempatan bermain di Eropa oleh agen yang sama, akan tetapi dalam kontrak Serge terdapat sebuah poin di mana Sang agen berhak mendapatkan 50% dari pendapatannya. Padahal Serge mengaku poin tersebut tidak ada saat ia membubuhkan tandatangannya.
Akibat poin ini, karir Serge tergantung oleh agen, bukan kemampuannya.
Serge bukan satu-satunya pemain yang mengalami hal tersebut. Menurut organisasi kemanusiaan, Sport and Freedom, ada lebih dari seribu kasus serupa, dan mayoritas menyangkut pesepakbola Afrika, Amerika Selatan dan Eropa Timur. Hal ini diungkapkan oleh pendiri organisasi, Paul Carlier kepada BBC.
"Ini adalah bentuk dari perbudakan modern. Selama dua tahun, Serge tidak pernah mendapatkan bayaran. Sering dia tidur di jalanan atau di hutan dengan selembar selimut. Ia masih berusia 17 tahun. Kita berbicara perihal anak-anak yang diekploitasi sehingga dunia olahraga (baca: agen dan klub) mendapatkan uang," ujar Carlier.
Langkah Carlier ini tidak popular dikalangan sepak bola Belgia. Bersama dengan Blainplain, ia kerap mendapatkan teror dari penelepon tak dikenal untuk menghentikan kampanyenya.
11 tahun lalu, dunia terkejut kala Jean-Marie Dedecker, senator Belgia, mengungkap jika dirinya sedang melakukan investigasi pada 442 kasus perdagangan ilegal menyangkut pesepakbola Afrika di negaranya.
Menurut Dedecker, inisiatifnya muncul setelah melihat agensi dan akademi sepak bola meraih banyak uang dan tak sepeserpun diberikan pada pemain. Dedecker bahkan pernah mendapat ancaman pembunuhan jika ia mengunjungi Nigeria untuk penyelidikan lebih lanjut.
Afrika memang telah memberikan begitu banyak talenta kelas satu kepada Eropa. Mulai dari George Weah hingga Yaya Toure, tapi nyatanya hanya 13% pemain asing di Benua Biru berasal dari Afrika. Eropa Barat mendominasi populasi dengan 38%, disusul Eropa Timur (23%), dan Amerika Selatan (22%).
Padahal kultur sepak bola Afrika tak kalah kuat dibandingkan benua-benua lain, banyak keluarga di sana yang berani menjual harta benda hingga rumah mereka demi mewujudkan mimpi anak menjadi "The Next Drogba".
Ghana, memiliki 500 akademi sepak bola, sialnya angka tersebut merujuk pada sekolah ilegal di sana.
Dalam sebuah liputan investigasi Al Jazeera, seorang pesepakbola muda dipukuli karena terlambat membayar iuran akademi. Jangankan membayar iuran, untuk dapat makan saja mereka kesulitan.
Kesulitan itu terus datang dalam berbagai bentuk bagi pemain-pemain muda Afrika. Awalnya mereka kesulitan membayar iuran, ketika sudah 'lulus' dan diboyong ke Eropa, para pemain kembali dihatam masalah baru bernama bahasa. Kepada Train Effective, seorang pemain yang pernah mengikuti tes bersama klub Eropa mengaku bahasa menjadi kendala paling dasar yang ia dan teman-temannya alami.
"Ketika kami bangun pagi, kami tidak tahu harus berbuat apa."
"Tidak ada komunikasi dari pihak klub, pelatih, ataupun agen.", Ungkapnya.
Melihat hal ini tak heran jika banyak pemain yang memilih klub sesuai kemampuan bahasa mereka, atau setidaknya memiliki kompatriot di sana. Kini kemampuan bahasa juga menjadi indikator dalam permainan "Football Manager", tak heran jika para pemain yang tidak paham cara berkomunikasi di calon klub gagal mendapat kontrak.
Dalam aturan FIFA perihal "Status dan Transfer Pemain", terdapat ketentuan masa uji coba bagi pemain yang mengincar kontrak profesional. Menurut pasal 213, waktu enam pekan adalah batas minimal seorang pemain menunjukkan kemampuan mereka, tapi mereka belum tentu bisa beradaptasi dalam 42 hari.
Aturan FIFA juga tidak mewajibkan klub untuk memberi uang jajan kepada pemain yang mengincar kontrak profesional di tempat mereka. Sebaliknya, dalam beberapa kasus, Sang pemain diminta untuk membayar klub dengan dalih banyak pencari bakat yang menyaksikan ia bermain.
Melakukan tes di klub A, belum tentu akan bermain untuk mereka, tapi ada peluang direkrut tim B. Peluang, bukan kepastian. Guna memperbesar peluang lolos, beberapa agen mengirim klien mereka ke klub-klub Asia karena minim saingan. Lihat saja bagaimana mantan pemain Persib Bandung, Christian Bekamenga mematangkan dirinya di Asia Tenggara sejak berumur 18, sebelum empat tahun kemudian dikontrak klub divisi dua Perancis.
Kasus Bekamenga seakan menjadi pembenaran dari studi demografik pemain di Eropa. Menurut studi yang dilakukan pada 2009 itu, rata-rata pesepakbola Afrika mulai meninggalkan merantau sejak usia muda, rata-rata 19,4 tahun. Sedangkan pemain dari Amerika Selatan hijrah ketika berusia 22 tahun.
Pemain muda Afrika sangat mudah dibandingkan Amerika Selatan yang mempercayakan 'mafia' sebagai agen mereka. 'Mafia' Amerika Selatan yang paling menonjol tapi tidak mencolok adalah Neymar Senior. Bagaimana ia terlibat dalam transfer anaknya dari Santos ke FC Barcelona.
Seharusnya Eropa dan Afrika menaruh kekhawatiran mengenai perdagangan manusia dalam bentuk sepak bola ini. Bayangkan, sebuah studi mengatakan bahwa lebih dari 20.000 pemain muda Afrika yang hidup terkatung-katung di Eropa setelah gagal mendapat kontrak profesional.
Itu menurut data tujuh tahun lalu, 2009, bagaimana kondisi saat ini ?
Ingatkah kalian akan laporan BBC di mana banyak talenta muda Liberia dijual mantan pemain tim nasional, Alex Karmo ke Laos untuk dijadikan budak ? Berita tersebut muncul pada Juli tahun lalu, dan jika melihat pola yang ada, kondisi akan semakin memburuk tahun ini.
Menurut logika, apa yang akan mereka lakukan setelah dianggap gagal memenuhi harapan klub dan agen ? Tanpa memiliki sepeser uang, menjadi gelandangan, atau kriminal adalah opsi paling logis agar tidak mati kelaparan.
Mantan pesepakbola Kamerun, Jean-Claude Mbvoumin melangkahkan kaki untuk memberantas fenomena perbudakan ini. Ia membentuk sebuah organisasi non-pemerintah bernama Culture Foot Solidaire di Perancis untuk membantu pesepakbola muda Afrika yang dibuang oleh agen atau klub mereka.
Usaha ini dibantu oleh Roger Milla dengan menjadi duta penyuluhan kepada pemain dan orang tua mereka. Sayangnya, talenta-talenta Afrika sebenarnya sudah sadar akan hal tersebut.
"Saya tidak peduli jika ia (agen) memperoleh uang dari saya."
"Dia adalah teman dan ayah kedua saya."
"Saya ingin dia menjadikan saya terkenal seperti Lionel Messi.", Ujar pemuda bernama Keita kepada Spiegel.
Miris. Benar adanya jika banyak yang mengatakan uang, kekuasaan, dan popularitas membutakan manusia, bahkan mereka menerima kenyataan menjadi budak, dan masih bermimpi bisa menjalani kisah layaknya Musa di Mesir.
Semua cerita ini membuat kita bertanya-tanya, apakah talenta-talenta negara kita akan menghadapi nasib serupa seperti mereka yang berada di Afrika ? Suka atau tidak, kondisi sepak bola domestik yang abu-abu membuat rasa was-was wajar adanya.
Pada kenyataannya, Andik Vermansyah hampir merumput di Jepang andai agennya menerima sodoran kontrak dari Negeri Sakura. Hal serupa juga bisa terjadi kepada playmaker muda, Evan Dimas, akan tetapi 'tim pemandu' lebih senang jika mantan kapten tim nasional U-19 berjudi di Spanyol.
Padahal ia telah ditolak klub divisi dua, Llagostera, dan kini kembali menjajal tanah katalan untuk Espanyol B, tim yang bermain Segunda B, tangga ketiga di sepak bola Negeri Matador.
Andik beruntung masih bisa membela salah satu klub terbaik Malaysia, tapi bagaimana nasib Evan Dimas ketika ia gagal memukau tim cadangan Espanyol? Apa pintu ke Negeri Matahari Terbit masih terbuka? Apa ia akan tetap bisa meraih mimpinya bermain sepak bola profesional? Atau salah satu talenta terbaik bangsa akan dirusak agen?
Ke mana FIFA saat semua ini terjadi ? Mereka telah memerangi transfer pemain di bawah umur sejak 2001, akan tetapi hukuman paling nyata yang diberikan federasi tertinggi sepak bola ini hanyalah embargo belanja pemain. Jelas bukan solusi untuk mengakhiri perbudakan, apalagi klub-klub yang terakhir mereka hukum adalah Barcelona, Atletico dan Real Madrid.
Tiga klub yang tidak terlalu merasakan dampak embargo. Tidak ada satupun kabar tentang tindakan FIFA terhadap Martunis atau Sporting Clube de Portugal, padahal jelas-jelas anak angkat Cristiano Ronaldo asal Aceh itu dengan sadar melanggar aturan.
Pada akhirnya perbudakan di sepak bola tetaplah hal tabu yang diketahui banyak pihak, tapi mayoritas dari mereka enggan untuk melakukan sesuatu. Kita hanya bisa berharap perjuangan Milla, Mbvoumin, Dedecker dan Blanplain terus berjalan ke arah positif sehingga menimbulkan kesadaran dari pihak klub, agen, dan pemain bahwa semua ini dapat merusak karir, masa depan, serta mimpi mereka menjadi bintang sepak bola.
*Diterbitkan pada 24/02/2016
*Diedit oleh @Adrieedu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar