Ada pameo yang mengatakan jika "Kerja keras tidak akan mengkhianati." Arti dari kalimat tersebut adalah sekeras apapun kita berusaha, maka hasilnya akan berujung manis. Meski mungkin tidak sesuai dengan ekspektasi sebelumnya, tapi akan selalu ada hikmah yang bisa didapatkan.
Di Atletico Madrid, nama Juanfran akan selalu dikenang sebagi pesepakbola yang gagal mengeksekusi di babak drama adu penalti di ajang final Liga Champions melawan Real Madrid. Logikanya, Juanfran akan menjadi pesakitan yang tidak akan bisa tidur dan makan dengan tenang.
Namun tidak demikian yang terjadi. Usai menulis surat permintaan maaf dan ucapan terima kasih karena selalu mendukung klub dan dirinya, nama Juanfran malah menjadi ikon terbaru dari Atleti. Jersey Atleti di musim 2015/16 dengan nameset Juanfran habis terjual di toko resmi klub, delapan kali lipat! Sungguh diluar nalar.
Mungkin hanya di Atleti ketika pemain yang bertanggung jawab atas kegagalan di partai final sebuah kompetisi yang bergengsi yang akan mendapatkan pujaan layaknya sang juara.
Tapi jika dilihat dari perjalanan sejarah Atletico, sebetulnya tindakan suporter ini bukan barang baru lagi bagi Los Indios. Bahkan Fernando Torres yang notabene lulusan akademi Los Colchoneros pernah menyinggung perihal kefanatikan suporter Atleti.
Dalam sebuah wawancara (lupa kapan), Torres berkata jika dirinya sejak kecil sudah jatuh cinta dengan Atletico Madrid. Padahal rekan-rekan sekelasnya semua mendukung Real Madrid. Tak pelak lagi, Torres menjadi bahan bercandaan dan bully-an oleh teman-teman satu kelasnya. Menyesalkah El Nino? Tidak. Dia malah makin mencintai ATM.
Menurut Torres, semakin diejek dan dibully oleh teman-temannya, ia memang menderita. Tapi dari penderitaan tersebut lah ia menemukan cinta, keteguhan, kesetiaan dan juga penderitaan. Jika melihat kata terakhir tadi, mungkin terdengar seperti sebuah scene di film 50 Shades of Grey. Namun begitu lah adanya. Seperti kata almarhum Freddie Mercury, "pain is so close to pleasure."
Mesti terdengar sadomasocist, tapi supoter Atleti memang sudah belajar untuk menerima kesakitan, kesedihan dan kekecewaan. Layaknya mereka terlahir untuk menjadi pesakitan di kota Madrid yang mayoritas mendukung El Real. Sebagaimana media massa era sekarang terbiasa menulis, Madrid adalah Real, bukan Atletico Madrid.
Bahkan dalam selebrasi kemenangan Los Blancos beberapa waktu lalu, walikota Madrid memakai jersey Real Madrid dan mengatakan simpatinya atas kekalahan Atleti. Bagi beberapa suporter, tidakan tersebut hanya dipandang sebagai formalitas dan lips service semata. Bagaimana pun juga, seorang politikus akan mencari cara untuk dikenal publik luas dibandingkan ucapan simpati yang terasa tawar kepada minoritas.
Lebih jauh lagi, pada perayaan centenary Atletico yang jatuh pada 2003 lalu, seorang aktivis politik dan juga musisi Joaquin Sabina mempersembahkan sebuah lagu berjudul "Que Manera de Sufrir" atau yang kurang lebih berarti bagaimana cara untuk menderita.
Di bait pertama, Sabina menceritakan penderitaannya sebagai suporter Atletico di kota Madrid, di Spanyol dan di Eropa. Sebuah penderitaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata namun bisa dirasakan kala menjadi suporter Atletico.
Di bait pertama pula Sabina menjelaskan jika penderitaan manis sebagai Atletico sudah berlangsung sejak dahulu kala. "O del Metropolitano, donde lloraba mi abuelo." Di Metropolitan (stadion lama Atleti), kakek saya menangis. Jika melihat pada catatan sejarah, lirik ini seakan menjelaskan kekalahan di Piala European musim 1973/74 dari Bayern Munich di Stadion Heysel.
Uniknya, di salah satu bait Sabina menjelaskan perihal Athletic Aviation, yang merupakan nama Atletico Madrid pada era Franco. Memang benar, Atleti pernah diubah menjadi klub khusus Angkatan Udara pada era perang dahulu. Tujuannya agar tentara bisa tetap bugar demi superioritas bangsa Spanyol, sebagaimana faham fasis. Bagi klub, mereka mendapatkan jumlah pasokan bahan bakar agar dapat bertandang ke kota-kota seputaran Spanyol. Perlu diketahui, kala itu bensin merupakan barang yang langka dan mahal karena kebanyakan dipakai untuk perang.
Jika berbicara perihal Franco, Sabina sempat mengungsi ke Inggris karena dianggap sebagai bagian dari grup anti fasis karena ide revolusionernya pada tahun 1970. Gilanya, Sabina pernah melempar bom molotov ke gedung pemerintahan. Karena merasa nyawanya terancam, ia pergi ke Inggris menggunakan paspor palsu dengan nama Mariano Zugasti. Kala Franco meninggal dunia, ia kembali ke Spanyol.
Meski suporter Atleti sudah beberapa kali harus kecewa karena gagal di final Liga Champions, gagal di La Liga dan Copa del Rey, setidaknya sosok Diego Simeone mengembangkan ekspektasi di masa depan. Kegagalan Simeone dipandang sebagai kelayakan, kelumrahan dan prestasi tersendiri oleh direksi dan suporter karena mereka memang tidak pernah berharap banyak. Bahkan kala Simeone bingung mengenai masa depannya usai kalah di final UCL kemarin, suporter Atleti langsung membentangkan spanduk yang bernada dukungan dan permintaan agar pelatih asal Argentina tersebut tetap tinggal di Vicente Calderon. Bahkan direksi ATM siap menggelontorkan uang hasil penjualan Jackson Martinez sepenuhnya untuk memperbaiki skuat.
Kini, semuanya berada di tangan Simeone. Apakah akan tetap bermuram durja atau sedikit memberikan senyuman indah seperti kala memenangkan titel Liga Spanyol di Stadion Camp Nou. Tapi satu yang pasti, fans Los Colchoneros akan tetap setia, apa pun yang terjadi. Karena Madrid juga dimiliki oleh Atletico Madrid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar