Dalam setiap cerita di dunia persilatan, sering disebutkan bahwa seorang murid harus mengalahkan guru agar bisa dianggap telah lulus dalam menyerap ilmu bela diri yang diajarkan selama bertahun-tahun, dengan segala macam pengorbanan yang dilakukan. Andai si murid mampu menaklukan sang guru dengan ilmu-ilmu yang telah diwariskan, maka Ia sudah layak disebut sebagai pendekar. Jika tidak, maka si murid masih terlalu hijau untuk menanggung beban kebebasan dunia, seperti yang terjadi pada Kenshin Himura dan Hiko Seijuro, kala mewarisi ilmu pamungkas: Hiten-Mitsurugi Amakakeru Ryu no Hikameki.
Hal serupa terjadi juga di Liga Jerman di pekan ke-32, yang akan jatuh pada Sabtu (06/05) dini hari WIB. Akan tetapi bukan duel adu ilmu pedang, namun mungkin adu ilmu kepintaran di lapangan hijau antara seorang murid dan guru, atau yang lebih tepatnya antara senior yang memberikan jalan bagi juniornya untuk membuka jalan karir sebagai juru taktik. Kejadian tersebut akan terjadi di pertandingan Borussia Dortmund versus Hoffenheim di Signal Iduna Park, antara Thomas Tuchel kontra Julian Naglesmann.
Saat ini nama Tuchel sempat digadang-gadangkan sebagai suksesor Arsene Wenger di Arsenal FC, usai membawa Dortmund mempertahankan warisan yang dibangun oleh Jurgen Klopp. Meski keduanya sempat melatih Mainz 05, namun Tuchel bukan suksesor langsung Klopp, sebab lebih dulu ada Jorn Andersen sebagai penengah. Baru kemudian di Der BVB, Ia menerima tongkat estafet kepelatihan secara langsung dari manajer Liverpool FC tersebut.
Ketertarikan para petinggi Dortmund kepada Tuchel bukan karena semata dia pernah berada di klub yang sama seperti Klopp. Bukan. Namun pria berusia 43 tahun itu mampu membawa Mainz 05 mengakhiri musim di posisi tertinggi sepanjang sejarah, yaitu di peringkat kelima dan lolos ke Liga Europa musim 2014/15. Padahal sebelumnya Ia hanya ditugaskan sebagai pelatih kepala tim U-19 di klub berjulukan Karnevalsverein itu, sebelum kemudian disodori kontrak selama dua tahun sesuai promosi ke kasta tertinggi.
Di Dortmund, Thomas Tuchel meneruskan fondasi yang telah dibangun oleh Klopp, yaitu sepak bola yang agresif, dinamis, berani dan dengan menekan lawan secara ketat. Akan tetapi Ia tidak serta merta meniru apa yang Klopp lakukan, sebab meskipun awalnya menerapkan strategi 4-2-3-1, Tuchel kemudian lebih cenderung ke formasi 4-1-4-1, yang lebih dikenal dipakai oleh Josep Guardiola di Bayern Munich. Tidak salah jika kemudian Marti Perarnau, seorang jurnalis asal Spanyol yang pernah menerbitkan biografi Guardiola, Pep Confidential, menyebut Tuchel menerapkan juego de posicion juga.
Menurut Perarnau, Tuchel datang ke Westfalenstadion di saat yang tepat, yaitu kala Dortmund berada dalam krisis di bawah kepelatihan Jurgen Klopp. Tuchel pun langsung bisa mengidentifikasi dan memberikan solusi kepada Der BVB, usai menimba ilmu tentang cara permainan penguasaan bola di Mainz 05.
Akan tetapi berbeda dengan Guardiola, Tuchel mengartikan taktik tersebut secara berbeda, yaitu dengan positioning yang sedikit asimetri melalui Julian Weigl dan Ilkay Gundogan di lini tengah. Sementara Guardiola memberikan ruang yang cukup bagi para pemain sayap untuk menyayat lini belakang lawan melalui Juego de Posicion.
Permainan seperti itu sebetulnya sudah diterapkan di Mainz 05, di tengah-tengah tim-tim yang bergerak agresif, baik dengan atau tanpa bola. Ketika tidak menguasai bola, gaya yang banyak diterapkan tim-tim Jerman itu manjur karena bisa segera menutup ruang lawan dan menciptakan intensitas tinggi sehingga sulit untuk ditaklukan. Counterpressing atau gegenpressing lah namanya. Akan tetapi gaya tersebut dianggap kurang manjur karena akan menciptakan penyerangan yang terburu-buru, overload yang berlebihan tanpa ada ruang terbuka dan koneksi antara lini, dan terlalu terfokus ke bola lambung ke area yang terlalu banyak diisi pemain sehingga berebut mengincar 2nd ball.
Akan tetapi tidak begitu dengan Juego de Posicion. Taktik itu mengedepankan struktur posisi pemain yang terorientasi kepada bola, dengan pola-pola, gerakan-gerakan, konsep-konsep yang spesifik dan memanfaatkannya dengan ruang yang terbuka, dengan tujuan mengembangkan permainan dan mencuri ruang dari lawan. Hal ini nantinya akan menciptakan peluang-peluang emas atau memaksa lawan mundur, sembari mempertahankan penguasaan bola. Dengan jarak para pemain lawan yang kian dekat dengan gawang mereka, maka presentase untuk terciptanya sebuah gol (baik gol bunuh diri atau bukan) kian membesar.
Tidak heran jika kemudian dia digadang-gadangkan sebagai pelatih Jerman terbaik, jauh sebelum Guardiola berpetualang di Bavaria dan sempat diyakini tinggal menunggu waktu untuk menangani tim nasional.
Sayangnya harapan tinggi yang diberikan Tuchel di musim pertama dengan lolos ke babak perempat-final Liga Europa, runner-up Liga Jerman dan kalah di final Piala DFB dari Bayern, tidak bisa terulang di musim berikutnya. Kini dengan hilangnya Mats Hummels dan Ilkay Gundogan, Dortmund terasa limbung. Padahal mereka memboyong Ousmane Dembele, Mario Gotze dan Andre Schurrle tapi terpaut 16 poin dari Dei Roten. Sedangkan di Liga Champions mereka dihajar tim yang berisikan pemain-pemain muda AS Monaco. Satu-satunya pelipur lara mungkin hanya Piala DFB, yang baru dimenangkan pada akhir April kemarin usai mengalahkan Bayern di Allianz Arena.
Oleh karenanya keraguan pun muncul atas dirinya. Apalagi Tuchel lebih menunda pembicaraan soal perpanjangan kontrak, yang tersisa satu tahun lagi. Harian-harian asal Jerman pun meyakini jika karir kepelatihan Tuchel tidak akan lama lagi dan keduanya akan berpisah pada musim panas nanti. Kabarnya, Dortmund sudah mengincar Julian Nagelsmann sebagai suksesor potensial.
Nama Julian Nagelsmann sendiri tidak bisa jauh dari Thomas Tuchel, karena selain keduanya sama-sama harus mengakhiri karir sepak bola lebih cepat karena cedera lutut, ternyata pelatih Hoffenheim itu sempat bekerja sebagai staff kepelatihan Tuchel di FC Ausburg, usai menyabet gelar akademik di jurusan sains olahraga. Sebetulnya Tuchel sendiri pernah menjadi bos Tuchel kala masih aktif sebagai pemain muda di tim cadangan Ausburg.
Karirnya di staf kepelatihan Tuchel membuat Ia harus memata-matai calon lawan, seperti yang pernah dilakukan oleh Andre Villas-Boas di Inter Milan kala Jose Mourinho masih menjadi arsitek di Guiseppe Meazza. Ia kemudian ditunjuk sebagai pelatih tim U-17 dan ditarik ke Hoffenheim sebagai asisten pelatih dan pernah berkiprah di tim U-19. Karirnya menanjak usai Huub Stevens mengundurkan diri dari kursi kepelatihan karena alasan kesehatan pada 10 Februari 2016. Ia ditunjuk karena mampu membawa tim U-19 TSG Hoffenheim menjadi juara Bundesliga di musim 2013/14.
Sebetulnya pria yang menjadi pelatih termuda di kasta tertinggi Liga Jerman itu digoda untuk merapat ke Bayern Munich untuk menjadi pelatih tim U-23, dengan harapan bisa membawa beban tanggung jawab di FC Hollywood suatu saat nanti. Bahkan kabarnya Karl-Heinz Rummenigge dan direktur olahraga (kala itu) Matthias Sammer pernah menyambut secara pribadi di Sabener Strasse. Pep Guardiola pun turut hadir, dengan memberikan sedikit kata-kata dan tepukan di punggung Naglesmann.
Akan tetapi Julian Naglesmann lebih memilih untuk menciptakan sejarahnya tersendiri di Hoffenheim. Terbukti, Ia ditunjuk sebagai pelatih kepala, dengan tanda tanya besar dan keraguan di benak publik karena masih terbilang hijau, baru berusia 28 tahun. Bahkan media asal Jerman, Rhein-Neckar-Zeitung menilai penunjukkan Naglesmann hanya sebatas mencari sensasi semata. Sedangkan Frankfurter Rundschau menganggap keputusan klub berjulukan Die Kraichgauer itu sebagai ide penuh halusinasi ala obat-obatan terlarang.
Sindiran-sindiran tersebut mampu dijawab dengan membawa Hoffenheim menghindari degradasi. Dari yang semula duduk di peringkat ke-17 karena buruknya racikan Markus Gisdol (yang kemudian dipecat pada Oktober 2015 dan digantikan Stevens), Hoffenheim mampu mengakhiri musim di peringkat ke-8. Bukan hanya itu, Ia pun mampu melanjutkan kesuksesannya dengan meraih 39 poin dari 22 laga hingga Oktober tahun lalu, yang hanya bisa dilampaui oleh duo raksasa Jerman, Dortmund dan Bayern. Bahkan sampai Januari kemarin, Hoffenheim menjadi satu-satunya klub yang tidak terkalahkan di lima liga top Eropa, sebelum takluk dari RasenBallsport Leipzig.
Majalah Kicker pun langsung memberikan sanjungan dengan menulis: "Adanya tanda [bermain di] Liga Champions di udara" pada bulan itu. Terbukti, kini Hoffenheim mempunyai peluang besar untuk lolos ke Liga Champions jika mampu menyingkirkan saingan terdekat mereka, Dortmund. Sebuah sejarah bagi klub yang dibekingi secara finansial oleh eks junior pemain mereka, Dietmar Hopp yang meraih kekayaan dari bisnis perangkat lunak.
Seperti yang sudah disinggung di atas, pertemuan antara Dortmund kontra Hoffenheim menjadi menarik karena bukan hanya kedua juru taktiknya pernah berada dalam satu kubu, namun juga penerapan strateginya yang hampir serupa, yaitu fleksibilitas dalam hal taktik. Naglesmann kerap mengubah taktik di tiap pertandingan, sehingga para penonton tidak merasa bosan. Bedanya, Thomas Tuchel dianggap kesulitan untuk menemukan konsistensi dari rotasi yang diterapkan karena faktor cedera para punggawa dan juga formasi dan lineup.
Hal serupa terjadi juga di Hoffenheim, dimana Nadiem Amiri tidak terlepas dari rotasi meskipun Ia tampil gemilang. Sementara itu penyerang Adam Szalai mendapatkan peran vital di bangku cadangan dengan bersaing dengan Andrej Kramaric, Mark Uth, Marco Terrazzino dan Sandro Wagner.
"Kuncinya ialah dengan memperlakukan para pemain cadangan seperti pemain-pemain lainnya," ujar Naglesmann pada awal musim pada Sky Sports.
Tapi taktik yang diterapkan Julian Naglesmann tidak beda jauh dengan Tuchel, yang pada dasarnya mengedepankan Juego de Posicion. Naglesmann mengakui hal tersebut namun dengan menekankan pentingnya memanfaatkan pemain muda.
"Filosofi saya adalah untuk menyerang lawan di dekat area gawang mereka karena jarak Anda untuk terciptanya sebuah gol tidak jauh, andai Anda mampu membawa bola ke atas [area bertahan lawan]," ujar Naglesmann pada Football Report pada 2013 silam.
"Saya menyukai permainan Villarreal CF dan mereka mempunyai cara yang hebat untuk melatih para pemain muda. Saya pun menyukai FC Barcelona dan Arsenal, sebagaimana saya menyukai hasil kerja Arsene Wenger."
"Mereka bermain sepak bola yang sangat bagus. Saya rasa gaya permainan Spanyol hampir mirip dengan gaya filosofi saya dan di Spanyol mereka sangat bagus dalam melatih pemain-pemain muda untuk tim. Saya belum melihat banyak hal itu dari Villarreal tapi sangat menarik untuk melihat bagaimana mereka berlatih dan itu bagus untuk pemain-pemain muda."
Tidak salah jika kemudian Julian Naglesmann merupakan generasi pertama dari era manajemen sepak bola, dimana kebersamaan mutlak dimiliki oleh sebuah tim. Ia pun menyebut edukasi, penerapan program-program dan membedakan antara kepelatihan kolektif dan man-management.
"Anda harus memikirkan soluisi dari perbedaan program-program daalam sepak bola dan bertanding melawan tim-tim yang berbeda. Hal lainnya yang menarik ialah untuk memiliki 22 atau 23 pemain yang semuanya berbeda, secara individual, dan sebagai pelatih Anda harus membawa mereka ke satu tujuan."
"Tiga puluh persen kepelatihan adalah taktik, 70 persen sisanya ialah kompetensi sosial. Setiap pemain termotivasi oleh hal-hal yang berbeda dan harus diakomodir dengan baik. Jika itu terjadi, kualitas para pemain di tim akan dipastikan bermain baik dengan perencanaan taktik yang bagus, jika kondisi psikologinya tepat," tuturnya pada Suddeutsche Zeitung, Agustus silam.
Akan tetapi Naglesmann mengakui jika sosok yang paling berpengaruh pada dirinya adalah pelatih RB Leipzig, Ralf Rangnick, yang menerapkan permainan menekan namun tidak dogmatik.
"[Tim Rangnick] Leipzig mengalami perkembangan yang menarik di divisi dua [musim 2015/16]. Pada awalnya mereka hampir memprovokasi situasi dimana mereka kehilangan bola, dengan tujuan bisa memenangkannya kembali [di situasi-situasi berbahaya]. Tapi banyak lawan mereka bermain terlalu dalam sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Lawan harus beradaptasi," ujarnya, seperti dikutip dari Spox.com.
"Saya memberikan perhatian dalam sikap para pemain kami ketika kami kehilangan bola tapi saya tidak akan pernah menginginkan kehilangan bola. Sekarang Anda membutuhkan kedua hal tersebut, solusi ketika menguasi bola, sebagaimana juga kala kehilangan bola."
Oleh karenanya laga antara Borussia Dortmund kontra TSG 1899 Hoffenheim akan menarik karena bukan hanya pertaruhan poin untuk berada di zona lolos otomatis ke Liga Champions semata, namun ada seorang junior yang mencoba untuk menterjemahkan ide sang senior dengan caranya sendiri, dengan menambahkan filosofinya tersendiri. Apakah keduanya akan saling sepakat bahwa keduanya mempunyai masa depan yang cerah?
*Artikel ini diterbitkan di Opermedia
Hal serupa terjadi juga di Liga Jerman di pekan ke-32, yang akan jatuh pada Sabtu (06/05) dini hari WIB. Akan tetapi bukan duel adu ilmu pedang, namun mungkin adu ilmu kepintaran di lapangan hijau antara seorang murid dan guru, atau yang lebih tepatnya antara senior yang memberikan jalan bagi juniornya untuk membuka jalan karir sebagai juru taktik. Kejadian tersebut akan terjadi di pertandingan Borussia Dortmund versus Hoffenheim di Signal Iduna Park, antara Thomas Tuchel kontra Julian Naglesmann.
Saat ini nama Tuchel sempat digadang-gadangkan sebagai suksesor Arsene Wenger di Arsenal FC, usai membawa Dortmund mempertahankan warisan yang dibangun oleh Jurgen Klopp. Meski keduanya sempat melatih Mainz 05, namun Tuchel bukan suksesor langsung Klopp, sebab lebih dulu ada Jorn Andersen sebagai penengah. Baru kemudian di Der BVB, Ia menerima tongkat estafet kepelatihan secara langsung dari manajer Liverpool FC tersebut.
Ketertarikan para petinggi Dortmund kepada Tuchel bukan karena semata dia pernah berada di klub yang sama seperti Klopp. Bukan. Namun pria berusia 43 tahun itu mampu membawa Mainz 05 mengakhiri musim di posisi tertinggi sepanjang sejarah, yaitu di peringkat kelima dan lolos ke Liga Europa musim 2014/15. Padahal sebelumnya Ia hanya ditugaskan sebagai pelatih kepala tim U-19 di klub berjulukan Karnevalsverein itu, sebelum kemudian disodori kontrak selama dua tahun sesuai promosi ke kasta tertinggi.
Di Dortmund, Thomas Tuchel meneruskan fondasi yang telah dibangun oleh Klopp, yaitu sepak bola yang agresif, dinamis, berani dan dengan menekan lawan secara ketat. Akan tetapi Ia tidak serta merta meniru apa yang Klopp lakukan, sebab meskipun awalnya menerapkan strategi 4-2-3-1, Tuchel kemudian lebih cenderung ke formasi 4-1-4-1, yang lebih dikenal dipakai oleh Josep Guardiola di Bayern Munich. Tidak salah jika kemudian Marti Perarnau, seorang jurnalis asal Spanyol yang pernah menerbitkan biografi Guardiola, Pep Confidential, menyebut Tuchel menerapkan juego de posicion juga.
Menurut Perarnau, Tuchel datang ke Westfalenstadion di saat yang tepat, yaitu kala Dortmund berada dalam krisis di bawah kepelatihan Jurgen Klopp. Tuchel pun langsung bisa mengidentifikasi dan memberikan solusi kepada Der BVB, usai menimba ilmu tentang cara permainan penguasaan bola di Mainz 05.
Akan tetapi berbeda dengan Guardiola, Tuchel mengartikan taktik tersebut secara berbeda, yaitu dengan positioning yang sedikit asimetri melalui Julian Weigl dan Ilkay Gundogan di lini tengah. Sementara Guardiola memberikan ruang yang cukup bagi para pemain sayap untuk menyayat lini belakang lawan melalui Juego de Posicion.
Permainan seperti itu sebetulnya sudah diterapkan di Mainz 05, di tengah-tengah tim-tim yang bergerak agresif, baik dengan atau tanpa bola. Ketika tidak menguasai bola, gaya yang banyak diterapkan tim-tim Jerman itu manjur karena bisa segera menutup ruang lawan dan menciptakan intensitas tinggi sehingga sulit untuk ditaklukan. Counterpressing atau gegenpressing lah namanya. Akan tetapi gaya tersebut dianggap kurang manjur karena akan menciptakan penyerangan yang terburu-buru, overload yang berlebihan tanpa ada ruang terbuka dan koneksi antara lini, dan terlalu terfokus ke bola lambung ke area yang terlalu banyak diisi pemain sehingga berebut mengincar 2nd ball.
Akan tetapi tidak begitu dengan Juego de Posicion. Taktik itu mengedepankan struktur posisi pemain yang terorientasi kepada bola, dengan pola-pola, gerakan-gerakan, konsep-konsep yang spesifik dan memanfaatkannya dengan ruang yang terbuka, dengan tujuan mengembangkan permainan dan mencuri ruang dari lawan. Hal ini nantinya akan menciptakan peluang-peluang emas atau memaksa lawan mundur, sembari mempertahankan penguasaan bola. Dengan jarak para pemain lawan yang kian dekat dengan gawang mereka, maka presentase untuk terciptanya sebuah gol (baik gol bunuh diri atau bukan) kian membesar.
Tidak heran jika kemudian dia digadang-gadangkan sebagai pelatih Jerman terbaik, jauh sebelum Guardiola berpetualang di Bavaria dan sempat diyakini tinggal menunggu waktu untuk menangani tim nasional.
Sayangnya harapan tinggi yang diberikan Tuchel di musim pertama dengan lolos ke babak perempat-final Liga Europa, runner-up Liga Jerman dan kalah di final Piala DFB dari Bayern, tidak bisa terulang di musim berikutnya. Kini dengan hilangnya Mats Hummels dan Ilkay Gundogan, Dortmund terasa limbung. Padahal mereka memboyong Ousmane Dembele, Mario Gotze dan Andre Schurrle tapi terpaut 16 poin dari Dei Roten. Sedangkan di Liga Champions mereka dihajar tim yang berisikan pemain-pemain muda AS Monaco. Satu-satunya pelipur lara mungkin hanya Piala DFB, yang baru dimenangkan pada akhir April kemarin usai mengalahkan Bayern di Allianz Arena.
Oleh karenanya keraguan pun muncul atas dirinya. Apalagi Tuchel lebih menunda pembicaraan soal perpanjangan kontrak, yang tersisa satu tahun lagi. Harian-harian asal Jerman pun meyakini jika karir kepelatihan Tuchel tidak akan lama lagi dan keduanya akan berpisah pada musim panas nanti. Kabarnya, Dortmund sudah mengincar Julian Nagelsmann sebagai suksesor potensial.
Nama Julian Nagelsmann sendiri tidak bisa jauh dari Thomas Tuchel, karena selain keduanya sama-sama harus mengakhiri karir sepak bola lebih cepat karena cedera lutut, ternyata pelatih Hoffenheim itu sempat bekerja sebagai staff kepelatihan Tuchel di FC Ausburg, usai menyabet gelar akademik di jurusan sains olahraga. Sebetulnya Tuchel sendiri pernah menjadi bos Tuchel kala masih aktif sebagai pemain muda di tim cadangan Ausburg.
Karirnya di staf kepelatihan Tuchel membuat Ia harus memata-matai calon lawan, seperti yang pernah dilakukan oleh Andre Villas-Boas di Inter Milan kala Jose Mourinho masih menjadi arsitek di Guiseppe Meazza. Ia kemudian ditunjuk sebagai pelatih tim U-17 dan ditarik ke Hoffenheim sebagai asisten pelatih dan pernah berkiprah di tim U-19. Karirnya menanjak usai Huub Stevens mengundurkan diri dari kursi kepelatihan karena alasan kesehatan pada 10 Februari 2016. Ia ditunjuk karena mampu membawa tim U-19 TSG Hoffenheim menjadi juara Bundesliga di musim 2013/14.
Sebetulnya pria yang menjadi pelatih termuda di kasta tertinggi Liga Jerman itu digoda untuk merapat ke Bayern Munich untuk menjadi pelatih tim U-23, dengan harapan bisa membawa beban tanggung jawab di FC Hollywood suatu saat nanti. Bahkan kabarnya Karl-Heinz Rummenigge dan direktur olahraga (kala itu) Matthias Sammer pernah menyambut secara pribadi di Sabener Strasse. Pep Guardiola pun turut hadir, dengan memberikan sedikit kata-kata dan tepukan di punggung Naglesmann.
Akan tetapi Julian Naglesmann lebih memilih untuk menciptakan sejarahnya tersendiri di Hoffenheim. Terbukti, Ia ditunjuk sebagai pelatih kepala, dengan tanda tanya besar dan keraguan di benak publik karena masih terbilang hijau, baru berusia 28 tahun. Bahkan media asal Jerman, Rhein-Neckar-Zeitung menilai penunjukkan Naglesmann hanya sebatas mencari sensasi semata. Sedangkan Frankfurter Rundschau menganggap keputusan klub berjulukan Die Kraichgauer itu sebagai ide penuh halusinasi ala obat-obatan terlarang.
Sindiran-sindiran tersebut mampu dijawab dengan membawa Hoffenheim menghindari degradasi. Dari yang semula duduk di peringkat ke-17 karena buruknya racikan Markus Gisdol (yang kemudian dipecat pada Oktober 2015 dan digantikan Stevens), Hoffenheim mampu mengakhiri musim di peringkat ke-8. Bukan hanya itu, Ia pun mampu melanjutkan kesuksesannya dengan meraih 39 poin dari 22 laga hingga Oktober tahun lalu, yang hanya bisa dilampaui oleh duo raksasa Jerman, Dortmund dan Bayern. Bahkan sampai Januari kemarin, Hoffenheim menjadi satu-satunya klub yang tidak terkalahkan di lima liga top Eropa, sebelum takluk dari RasenBallsport Leipzig.
Majalah Kicker pun langsung memberikan sanjungan dengan menulis: "Adanya tanda [bermain di] Liga Champions di udara" pada bulan itu. Terbukti, kini Hoffenheim mempunyai peluang besar untuk lolos ke Liga Champions jika mampu menyingkirkan saingan terdekat mereka, Dortmund. Sebuah sejarah bagi klub yang dibekingi secara finansial oleh eks junior pemain mereka, Dietmar Hopp yang meraih kekayaan dari bisnis perangkat lunak.
Seperti yang sudah disinggung di atas, pertemuan antara Dortmund kontra Hoffenheim menjadi menarik karena bukan hanya kedua juru taktiknya pernah berada dalam satu kubu, namun juga penerapan strateginya yang hampir serupa, yaitu fleksibilitas dalam hal taktik. Naglesmann kerap mengubah taktik di tiap pertandingan, sehingga para penonton tidak merasa bosan. Bedanya, Thomas Tuchel dianggap kesulitan untuk menemukan konsistensi dari rotasi yang diterapkan karena faktor cedera para punggawa dan juga formasi dan lineup.
Hal serupa terjadi juga di Hoffenheim, dimana Nadiem Amiri tidak terlepas dari rotasi meskipun Ia tampil gemilang. Sementara itu penyerang Adam Szalai mendapatkan peran vital di bangku cadangan dengan bersaing dengan Andrej Kramaric, Mark Uth, Marco Terrazzino dan Sandro Wagner.
"Kuncinya ialah dengan memperlakukan para pemain cadangan seperti pemain-pemain lainnya," ujar Naglesmann pada awal musim pada Sky Sports.
Tapi taktik yang diterapkan Julian Naglesmann tidak beda jauh dengan Tuchel, yang pada dasarnya mengedepankan Juego de Posicion. Naglesmann mengakui hal tersebut namun dengan menekankan pentingnya memanfaatkan pemain muda.
"Filosofi saya adalah untuk menyerang lawan di dekat area gawang mereka karena jarak Anda untuk terciptanya sebuah gol tidak jauh, andai Anda mampu membawa bola ke atas [area bertahan lawan]," ujar Naglesmann pada Football Report pada 2013 silam.
"Saya menyukai permainan Villarreal CF dan mereka mempunyai cara yang hebat untuk melatih para pemain muda. Saya pun menyukai FC Barcelona dan Arsenal, sebagaimana saya menyukai hasil kerja Arsene Wenger."
"Mereka bermain sepak bola yang sangat bagus. Saya rasa gaya permainan Spanyol hampir mirip dengan gaya filosofi saya dan di Spanyol mereka sangat bagus dalam melatih pemain-pemain muda untuk tim. Saya belum melihat banyak hal itu dari Villarreal tapi sangat menarik untuk melihat bagaimana mereka berlatih dan itu bagus untuk pemain-pemain muda."
Tidak salah jika kemudian Julian Naglesmann merupakan generasi pertama dari era manajemen sepak bola, dimana kebersamaan mutlak dimiliki oleh sebuah tim. Ia pun menyebut edukasi, penerapan program-program dan membedakan antara kepelatihan kolektif dan man-management.
"Anda harus memikirkan soluisi dari perbedaan program-program daalam sepak bola dan bertanding melawan tim-tim yang berbeda. Hal lainnya yang menarik ialah untuk memiliki 22 atau 23 pemain yang semuanya berbeda, secara individual, dan sebagai pelatih Anda harus membawa mereka ke satu tujuan."
"Tiga puluh persen kepelatihan adalah taktik, 70 persen sisanya ialah kompetensi sosial. Setiap pemain termotivasi oleh hal-hal yang berbeda dan harus diakomodir dengan baik. Jika itu terjadi, kualitas para pemain di tim akan dipastikan bermain baik dengan perencanaan taktik yang bagus, jika kondisi psikologinya tepat," tuturnya pada Suddeutsche Zeitung, Agustus silam.
Akan tetapi Naglesmann mengakui jika sosok yang paling berpengaruh pada dirinya adalah pelatih RB Leipzig, Ralf Rangnick, yang menerapkan permainan menekan namun tidak dogmatik.
"[Tim Rangnick] Leipzig mengalami perkembangan yang menarik di divisi dua [musim 2015/16]. Pada awalnya mereka hampir memprovokasi situasi dimana mereka kehilangan bola, dengan tujuan bisa memenangkannya kembali [di situasi-situasi berbahaya]. Tapi banyak lawan mereka bermain terlalu dalam sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Lawan harus beradaptasi," ujarnya, seperti dikutip dari Spox.com.
"Saya memberikan perhatian dalam sikap para pemain kami ketika kami kehilangan bola tapi saya tidak akan pernah menginginkan kehilangan bola. Sekarang Anda membutuhkan kedua hal tersebut, solusi ketika menguasi bola, sebagaimana juga kala kehilangan bola."
Oleh karenanya laga antara Borussia Dortmund kontra TSG 1899 Hoffenheim akan menarik karena bukan hanya pertaruhan poin untuk berada di zona lolos otomatis ke Liga Champions semata, namun ada seorang junior yang mencoba untuk menterjemahkan ide sang senior dengan caranya sendiri, dengan menambahkan filosofinya tersendiri. Apakah keduanya akan saling sepakat bahwa keduanya mempunyai masa depan yang cerah?
*Artikel ini diterbitkan di Opermedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar