Senin, 30 Januari 2017

Peliknya Wasit Liga Spanyol

Sepak bola adalah olahraga yang dapat dengan mudah diterapkan tanpa sentuhan teknologi termuktahir. Hanya tinggal menempatkan dua buah batu untuk menjadi pertanda gawang dan sebuah benda bulat serta pemain lebih dari dua atau tiga, maka jadi lah.

Karena sifatnya yang bisa dimainkan tanpa perlu sentuhan terkini, sepak bola sudah ada sejak zaman kertas masih mahal atau ketika higienis masih berupa impian. Penggalan kepala manusia pun dapat dijadikan sebuah bola, tanpa perlu adanya gawang atau aturan baku.

Namun seiring berjalannya waktu, olahraga si kulit bundar ini kian digandrungi oleh masyarakat luas. Dari yang awalnya merupakan upaya untuk mempraktekan teori evolusi Charles Darwin (di daratan Britania Raya) bahwa manusia yang sehat merupakan bibit unggulan, sepak bola kini tidak lagi terkekang oleh paradigma tersebut.

Sudah menjadi suratan takdir, sepertinya, bahwa kebudayaan populer akan dibarengi dan dirancang sedemikian rupa oleh  industri. Wajar, sebab kebudayaan populer seakan menjadi rayuan yang sulit dibendung untuk memperkaya diri. Begitu pun di sepak bola, musik, film atau idol-idolan.

TEKNOLOGI

Sentuhan industri dalam sepak bola sangat terasa dewasa ini, ketika informasi terkini dari satu klub semenjana atau hasil pertandingan di daerah antah berantah, bisa dengan mudah didapatkan menggunakan satu dua sentuhan jari saja. Bahkan untuk mencari data dan fakta dari nama-nama klub yang bisa mengerutkan dahi pun bisa diakses mudah, baik melalui laman atau sosial media.

Tak pelak, sepak bola memasuki era modern, dimana uang menjadi 'petaruhan' bagi investor, baik di level klub, kompetisi, kegiatan atau merchandising. Oleh sebab itu, akan naif jika beberapa pihak menolak modernitas sepak bola, karena faktor 'kenangan' semata.

Dengan meningkatnya kepopuleran sepak bola, maka olahraga ini tidak bisa dipandang secara tradisional lagi. Dibutuhkan upaya-upaya yang bisa memodernitas olahraga tersebut, termasuk diantaranya mempergunakan teknologi garis gawang atau tayangan ulang video.

Dua teknologi ini muncul untuk menjawab keraguan dan ketidakpuasan terhadap wasit atau jalannya sebuah laga. Sudah pasti, dua aturan ini mempermudah wasit dalam mengambil keputusan yang terjadi di atas lapangan.

Untuk teknologi tayangan ulang video, atau yang biasa disebut Video Assitant Referee (VAR) ini akan resmi mulai diterapkan oleh FIFA pada Piala Dunia 2018 Rusia. Saat sekarang regulasi baru ini masih dalam tahap uji coba.

Penerapan teknologi tayangan ulang ini sebetulnya bukan barang baru, sebab sudah disepakati sejak 1970 oleh Asosiasi Direksi Sepak Bola Internasional, seperti pengakuan Urs Linsi di 2005.

"Para pemain, pelatih dan wasit dapat melakukan kesalahan. Ini merupakan bagian dari pertandingan. Ini yang saya sebut 'pertandingan pertama'. Apa yang anda lihat dalam tayangan ulang video tidak serta mempengaruhi jalannya laga, itu yang saya sebut 'pertandingan kedua'."

"Bukti video sangat berguna dalam memberikan sanksi disipliner, tapi sampai di situ saja. Sebagaimana selalu kami tekankan di FIFA, elemen manusiawi dalam sepak bola mesti dipertahankan. Itu menjadi cerminan dan kami harus melindunginya."

Sementara teknologi garis gawang mulai diterapkan sejak 2012 dan sudah diterapkan di liga-liga top Eropa, seperti Liga Italia, Liga Inggris, Liga Jerman dan Liga Perancis.

Penerapan teknologi ini bukan sebuah kewajiban dari FIFA karena harganya yang tidak murah. Disebutkan bahwa instalasi teknologi ini membutuhkan biaya sebesar Rp 3,4 miliar per stadion dan Rp 52 juta per laga. Oleh karenanya, penerapan sistem ini hanya ada di kasta tertinggi di empat liga di atas.

Harga yang tinggi ini disebabkan hanya ada empat perusahaan yang mendapatkan lisensi dari FIFA, yaitu ChyronHego, Fraunhofer IIs, GoalControl dan Hawk-Eye Innovations.

Akan tetapi dua sistem ini tidak muncul tanpa kontra. Beberapa pihak menilai teknologi ini malah menjadi racun mematikan sepak bola itu sendiri karena menghilangkan 'kesalahan-kesalahan' manusia. Bagi mereka, human error menjadi drama dan intrik yang membuat si kulit bundar kian menarik dibandingkan cabang olahraga lainnya.

WASIT LIGA SPANYOL

Di Liga Spanyol sendiri penerapan teknologi ini belum dirasa perlu karena kekuatan finansial klub belum merata, berbeda dengan liga-liga tetangga.

"Tidak. Kami tidak akan mempergunakannya (teknologi garis gawang). Teknologi tersebut membutuhkan banyak uang," ujar Javier Tebas pada stasiun radio Cadena Cope, tepatnya Juni 2016.

Kini, Javier Tebas sepertinya mesti mempertimbang ulang kebijakannya tersebut karena terjadi keluhan-keluhan yang melibatkan wasit dari para pelaku sepak bola. Dari yang merasa dirugikan karena tidak diberi keuntungan atas pelanggaran atau gol yang dianulir atau tidak disahkan.

Pemain belakang FC Barcelona bahkan sempat menunjuk Tebas secara langsung untuk memperlihatkan ketidaksukaannya atas keputusan yang diberikan oleh wasit ketika Blaugrana bersua SAD Villarreal di Stadion La Ceramica, 9 Januari lalu.

Beberapa waktu sebelumnya, para pemain klub asal Katalunya ini sempat meradang ketika bersua Athletic Bilbao di ajang Copa del Rey, dimana wasit Fernadez Borbalan tidak memberikan hadiah penalti usai Neymar dilanggar oleh Gorka.

Bukan hanya Barca saja, beberapa klub pun sempat dibuat kesal oleh keputusan yang dikeluarkan pengadil lapangan hijau. Valencia CF, Sevilla FC, Real Madrid, Athletic Bilbao dan banyak lagi.

Lalu pada pertandingan melawan Real Betis, Minggu (29/01) petang WIB, sorotan kepada wasit pun kembali muncul karena tendangan Jordi Alba, terlihat dalam tayangan ulang, telah jauh melewati garis gawang. Sontak keputusan wasit Alejandro Hernandez ini dirasa merugikan tim tamu karena hanya bisa memberikan hasil imbang 1-1.

Sayangnya kritikan atas kinerja wasit malah salah sasaran, yaitu kepada Javier Tebas selaku presiden LFP. 

Padahal pihak yang bertugas dalam mengatur perwasitan adalah Komite Teknis Wasit yang berada di bawah kendali Federasi Sepak Bola Kerajaan Spanyol (RFEF).

Hingga Juni 2016, ada 20 wasit yang ditunjuk untuk menjadi pengadil di atas lapangan bagi 10 laga per jornada. Ke-20 wasit ini datang dari 13 federasi wilayah (provinsi). Padahal federasi wilayah sendiri ada 19 buah.

Dari ke-20 pengadil itu, satu diantaranya berasal dari Komuniti Madrid, yaitu Carlos del Cerro Grande. Sementara Andalusia menyumbangkan wasit terbanyak, yaitu tiga orang, yang terdiri dari David Borbalan, Mario Lopez dan Jose Montero.

Bagi ke-20 wasit ini, bukan perkara mudah untuk bisa menjadi pengadil di laga sepenting Liga Spanyol karena mesti melalui kompetisi junior, regional dan liga junior nasional serta menjadi asisten wasit. Tahapan ini disebut auxiliar.

Setelah empat bulan di level auxiliar, seorang wasit naik jabatan ke tahap juvenil yang menjadi pengadil di kompetisi alevine, infantile, cadete dan juvenile, atau kelompok usia muda.

Lalu kemudian naik peringkat ke kategori dewasa yang ada di federasi wilayah domisili si wasit, baik itu regional 1, 2 atau dalam kasus tertentu regional 3. Hanya di Murcia dimana seorang wasit bisa langsung naik ke regional 1 karena tidak adanya regional-regional di bawahnya.

Jika sudah mengantungi pengalaman di level juvenil dan regional wilayah (termasuk diantaranya Tercera Division), maka wasit bisa naik ke kategori nasional yang mencangkup Segunda, Segunda B dan Primera.

Jangan anggap bisa dengan mudah langsung naik peringkat, sebab di Segunda B sendiri ada 122 wasit yang mesti bersaing untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya. Sedangkan di Segunda ada 22 wasit bertugas.

Bukan hanya itu, ada informador yang bertugas mengevaluasi seorang wasit dalam laga-laga tertentu, yang kemudian menghasilkan rataan untuk memenuhi kualifikasi naik peringkat. Kondisi fisik dan pengetahuan teknis pertandingan serta usia pun menjadi bahan pertimbangan.

MASALAH

Apakah dengan tingkatan-tingkatan dan persyaratan tadi seorang wasit akan bebas dari kesalahan dalam memberikan keputusan? Tidak juga.

Apakah wasit akan terbebas dari godaan pengaturan skor? Tidak juga.

Di akhir musim lalu LFP mengakui adanya usaha main mata atau pengaturan skor. Bahkan Tebas sendiri pun memperkirakan terjadinya insiden memalukan seperti itu.

"Dari total 380 pertandingan tiap musimnya, sangat memungkinkan adanya pengaturan skor. Beberapa laga diketahui secara pasti sementara sebagian hanya dicurigai saja," ujar Tebas seperti dikutip dari El Mundo.

"Kami mendapatkan informasi ini dari intelejen yang mengumpulkan bukti dan info, khususnya dari internet. Saya tidak bisa berkata lebih banyak lagi (karena dirahasiakan)."

"Pengaturan skor ini terjadi setidaknya tiga atau empat pertandingan di Primera dan tujuh atau delapan laga di Divisi Segunda."

"Kecurigaan bukan berarti pertandingan tersebut sudah pasti diatur. Akan tetapi kecurigaan ini membuat kami menyelidiki lebih dalam. Jika ditemukan kejanggalan, maka kami akan menyerahkan kepada pihak kepolisian."

Jomplangnya pendapatan pesepakbola disinyalir menjadi alasan terjadinya pengaturan skor.

"Fenomena ini sangat berhubungan dengan krisis ekonomi yang melanda Spanyol. Ketika pesepakbola yang mendapatkan lebih sedikit uang dan adanya keterlambatan pembayaran gaji karena faktor ekonomi yang menjerat klub, maka para atlet ini akan mencari uang tambahan."

"Situasi ini dikarenakan tidak adanya monitoring dan pengawasan. Jika adanya pengawasan terhadap klub, maka resiko pengaturan skor akan berkurang."

Pada saat yang sama, Tebas pun mengkritik Federasi Sepak Bola Spanyol karena tidak pernah mengentaskan persoalan pengaturan skor.

"Ini adalah tugas Federasi Sepak Bola Spanyol (RFEF) untuk meminimalisir kejadian seperti ini. Jika tidak, maka liga akan berantakan," tegas pria kelahiran Costa Rica ini.

"Presiden RFEF tidak percaya mengenai adanya pengaturan skor. Menurut saya, sudah saatnya dia percaya. Federasi sudah bertindak sembrono dengan ketidak-peduliannya. Orang-orang disekitar presiden Federasi pun enggan mengangkat situasi yang sebenarnya," kritik Tebas, tajam, Mei 2016 silam.

Bukan hanya soal pengaturan skor, di Liga Spanyol pun ada 'tradisi' pemberian bonus untuk mengalahkan lawan agar jalan klub-klub tertentu bisa lengang. Contohnya terjadi di akhir musim lalu.

Kala itu Barcelona berharap Deportivo La Coruna bisa mengalahkan Real Madrid agar bisa memuluskan upaya menjadi juara Liga Spanyol. Pun Los Blancos menginginkan Blaugrana kalah atau ditahan imbang oleh Granada demi menjaga kans juara.

Sorotan seperti itu makin tajam setelah kiper Granada Ivan Kelava mengakui jika dirinya mengetahui ada semacam kebiasaan pemberian bonus untuk mengalahkan lawannya dari tim tertentu.

Namun ucapan Kelava kala itu tidak berarti membuktikan Granada akan atau sudah menerima bonus dari Real Madrid jika sukses menahan ambisi Barca untuk menjadi juara Liga Spanyol.

Tidak hanya empat klub di atas yang dicurigai main mata, Villarreal dan Sporting Gijon pun mendapatkan sorotan serupa. Seperti diketahui, The Yellow Submarine sudah memastikan tempat di zona Liga Champions. Sementara Gijon harus meraih poin penuh agar lolos dari jerat degradasi.

Satu-satunya laga yang dicurigai terjadinya pengaturan skor ialah di laga yang mempertemukan Real Sociedad kontra Rayo Vallecano di akhir musim lalu. Kecurigaan tersebut muncul dari harian El Mundo yang melihat adanya kejanggalan di bursa taruhan.
"
Ketika anda mendengar rumor-rumor (pengaturan skor) anda tidak bisa memalingkan muka. Jika kita bisa menyelesaikan kasus ini maka kami akan sangat senang. Laga itu, antara Real-Rayo, adanya pola abnormal tapi itu bukan berarti sesuatu terjadi."


"Ini (berkaitan) dengan pasar bursa taruhan yang sangat terfokus kepada posisi di klasemen," ujar Tebas, Mei silam.

Tidak ada komentar: