Sepak bola adalah olahraga yang dapat dengan mudah
diterapkan tanpa sentuhan teknologi termuktahir. Hanya tinggal menempatkan dua
buah batu untuk menjadi pertanda gawang dan sebuah benda bulat serta pemain
lebih dari dua atau tiga, maka jadi lah.
Karena sifatnya yang bisa dimainkan tanpa perlu sentuhan
terkini, sepak bola sudah ada sejak zaman kertas masih mahal atau ketika
higienis masih berupa impian. Penggalan kepala manusia pun dapat dijadikan
sebuah bola, tanpa perlu adanya gawang atau aturan baku.
Namun seiring berjalannya waktu, olahraga si kulit bundar
ini kian digandrungi oleh masyarakat luas. Dari yang awalnya merupakan upaya
untuk mempraktekan teori evolusi Charles Darwin (di daratan Britania Raya) bahwa
manusia yang sehat merupakan bibit unggulan, sepak bola kini tidak lagi
terkekang oleh paradigma tersebut.
Sudah menjadi suratan takdir, sepertinya, bahwa kebudayaan
populer akan dibarengi dan dirancang sedemikian rupa oleh industri. Wajar, sebab kebudayaan populer
seakan menjadi rayuan yang sulit dibendung untuk memperkaya diri. Begitu pun di
sepak bola, musik, film atau idol-idolan.
TEKNOLOGI
Sentuhan industri dalam sepak bola sangat terasa dewasa ini,
ketika informasi terkini dari satu klub semenjana atau hasil pertandingan di
daerah antah berantah, bisa dengan mudah didapatkan menggunakan satu dua
sentuhan jari saja. Bahkan untuk mencari data dan fakta dari nama-nama klub
yang bisa mengerutkan dahi pun bisa diakses mudah, baik melalui laman atau
sosial media.
Tak pelak, sepak bola memasuki era modern, dimana uang
menjadi 'petaruhan' bagi investor, baik di level klub, kompetisi, kegiatan atau
merchandising. Oleh sebab itu, akan naif jika beberapa pihak menolak modernitas
sepak bola, karena faktor 'kenangan' semata.
Dengan meningkatnya kepopuleran sepak bola, maka olahraga
ini tidak bisa dipandang secara tradisional lagi. Dibutuhkan upaya-upaya yang
bisa memodernitas olahraga tersebut, termasuk diantaranya mempergunakan
teknologi garis gawang atau tayangan ulang video.
Dua teknologi ini muncul untuk menjawab keraguan dan
ketidakpuasan terhadap wasit atau jalannya sebuah laga. Sudah pasti, dua aturan
ini mempermudah wasit dalam mengambil keputusan yang terjadi di atas lapangan.
Untuk teknologi tayangan ulang video, atau yang biasa
disebut Video Assitant Referee (VAR) ini akan resmi mulai diterapkan oleh FIFA
pada Piala Dunia 2018 Rusia. Saat sekarang regulasi baru ini masih dalam tahap
uji coba.
Penerapan teknologi tayangan ulang ini sebetulnya bukan
barang baru, sebab sudah disepakati sejak 1970 oleh Asosiasi Direksi Sepak Bola
Internasional, seperti pengakuan Urs Linsi di 2005.
"Para pemain, pelatih dan wasit dapat melakukan
kesalahan. Ini merupakan bagian dari pertandingan. Ini yang saya sebut
'pertandingan pertama'. Apa yang anda lihat dalam tayangan ulang video tidak
serta mempengaruhi jalannya laga, itu yang saya sebut 'pertandingan kedua'."
"Bukti video sangat berguna dalam memberikan sanksi
disipliner, tapi sampai di situ saja. Sebagaimana selalu kami tekankan di FIFA,
elemen manusiawi dalam sepak bola mesti dipertahankan. Itu menjadi cerminan dan
kami harus melindunginya."
Sementara teknologi garis gawang mulai diterapkan sejak 2012
dan sudah diterapkan di liga-liga top Eropa, seperti Liga Italia, Liga Inggris,
Liga Jerman dan Liga Perancis.
Penerapan teknologi ini bukan sebuah kewajiban dari FIFA
karena harganya yang tidak murah. Disebutkan bahwa instalasi teknologi ini
membutuhkan biaya sebesar Rp 3,4 miliar per stadion dan Rp 52 juta per laga.
Oleh karenanya, penerapan sistem ini hanya ada di kasta tertinggi di empat liga
di atas.
Harga yang tinggi ini disebabkan hanya ada empat perusahaan
yang mendapatkan lisensi dari FIFA, yaitu ChyronHego, Fraunhofer IIs,
GoalControl dan Hawk-Eye Innovations.
Akan tetapi dua sistem ini tidak muncul tanpa kontra.
Beberapa pihak menilai teknologi ini malah menjadi racun mematikan sepak bola itu
sendiri karena menghilangkan 'kesalahan-kesalahan' manusia. Bagi mereka, human
error menjadi drama dan intrik yang membuat si kulit bundar kian menarik
dibandingkan cabang olahraga lainnya.
WASIT LIGA SPANYOL
Di Liga Spanyol sendiri penerapan teknologi ini belum dirasa
perlu karena kekuatan finansial klub belum merata, berbeda dengan liga-liga
tetangga.
"Tidak. Kami tidak akan mempergunakannya (teknologi
garis gawang). Teknologi tersebut membutuhkan banyak uang," ujar Javier
Tebas pada stasiun radio Cadena Cope,
tepatnya Juni 2016.
Kini, Javier Tebas sepertinya mesti mempertimbang ulang
kebijakannya tersebut karena terjadi keluhan-keluhan yang melibatkan wasit dari
para pelaku sepak bola. Dari yang merasa dirugikan karena tidak diberi
keuntungan atas pelanggaran atau gol yang dianulir atau tidak disahkan.
Pemain belakang FC Barcelona bahkan sempat menunjuk Tebas
secara langsung untuk memperlihatkan ketidaksukaannya atas keputusan yang
diberikan oleh wasit ketika Blaugrana bersua SAD Villarreal di Stadion La
Ceramica, 9 Januari lalu.
Beberapa waktu sebelumnya, para pemain klub asal Katalunya
ini sempat meradang ketika bersua Athletic Bilbao di ajang Copa del Rey, dimana
wasit Fernadez Borbalan tidak memberikan hadiah penalti usai Neymar dilanggar
oleh Gorka.
Bukan hanya Barca saja, beberapa klub pun sempat dibuat
kesal oleh keputusan yang dikeluarkan pengadil lapangan hijau. Valencia CF,
Sevilla FC, Real Madrid, Athletic Bilbao dan banyak lagi.
Lalu pada pertandingan melawan Real Betis, Minggu (29/01)
petang WIB, sorotan kepada wasit pun kembali muncul karena tendangan Jordi
Alba, terlihat dalam tayangan ulang, telah jauh melewati garis gawang. Sontak
keputusan wasit Alejandro Hernandez ini dirasa merugikan tim tamu karena hanya
bisa memberikan hasil imbang 1-1.
Sayangnya kritikan atas kinerja wasit malah salah sasaran,
yaitu kepada Javier Tebas selaku presiden LFP.
Padahal pihak yang bertugas
dalam mengatur perwasitan adalah Komite Teknis Wasit yang berada di bawah
kendali Federasi Sepak Bola Kerajaan Spanyol (RFEF).
Hingga Juni 2016, ada 20 wasit yang ditunjuk untuk menjadi
pengadil di atas lapangan bagi 10 laga per jornada. Ke-20 wasit ini datang dari
13 federasi wilayah (provinsi). Padahal federasi wilayah sendiri ada 19 buah.
Dari ke-20 pengadil itu, satu diantaranya berasal dari
Komuniti Madrid, yaitu Carlos del Cerro Grande. Sementara Andalusia
menyumbangkan wasit terbanyak, yaitu tiga orang, yang terdiri dari David
Borbalan, Mario Lopez dan Jose Montero.
Bagi ke-20 wasit ini, bukan perkara mudah untuk bisa menjadi
pengadil di laga sepenting Liga Spanyol karena mesti melalui kompetisi junior,
regional dan liga junior nasional serta menjadi asisten wasit. Tahapan ini
disebut auxiliar.
Setelah empat bulan di level auxiliar, seorang wasit naik
jabatan ke tahap juvenil yang menjadi pengadil di kompetisi alevine, infantile,
cadete dan juvenile, atau kelompok usia muda.
Lalu kemudian naik peringkat ke kategori dewasa yang ada di
federasi wilayah domisili si wasit, baik itu regional 1, 2 atau dalam kasus
tertentu regional 3. Hanya di Murcia dimana seorang wasit bisa langsung naik ke
regional 1 karena tidak adanya regional-regional di bawahnya.
Jika sudah mengantungi pengalaman di level juvenil dan regional
wilayah (termasuk diantaranya Tercera Division), maka wasit bisa naik ke
kategori nasional yang mencangkup Segunda, Segunda B dan Primera.
Jangan anggap bisa dengan mudah langsung naik peringkat,
sebab di Segunda B sendiri ada 122 wasit yang mesti bersaing untuk menunjukkan
kemampuan terbaiknya. Sedangkan di Segunda ada 22 wasit bertugas.
Bukan hanya itu, ada informador yang bertugas mengevaluasi
seorang wasit dalam laga-laga tertentu, yang kemudian menghasilkan rataan untuk
memenuhi kualifikasi naik peringkat. Kondisi fisik dan pengetahuan teknis
pertandingan serta usia pun menjadi bahan pertimbangan.
MASALAH
Apakah dengan tingkatan-tingkatan dan persyaratan tadi
seorang wasit akan bebas dari kesalahan dalam memberikan keputusan? Tidak juga.
Apakah wasit akan terbebas dari godaan pengaturan skor?
Tidak juga.
Di akhir musim lalu LFP mengakui adanya usaha main mata atau
pengaturan skor. Bahkan Tebas sendiri pun memperkirakan terjadinya insiden
memalukan seperti itu.
"Dari total 380 pertandingan tiap musimnya, sangat
memungkinkan adanya pengaturan skor. Beberapa laga diketahui secara pasti
sementara sebagian hanya dicurigai saja," ujar Tebas seperti dikutip dari El Mundo.
"Kami mendapatkan informasi ini dari intelejen yang
mengumpulkan bukti dan info, khususnya dari internet. Saya tidak bisa berkata
lebih banyak lagi (karena dirahasiakan)."
"Pengaturan skor ini terjadi setidaknya tiga atau empat
pertandingan di Primera dan tujuh atau delapan laga di Divisi Segunda."
"Kecurigaan bukan berarti pertandingan tersebut sudah
pasti diatur. Akan tetapi kecurigaan ini membuat kami menyelidiki lebih dalam.
Jika ditemukan kejanggalan, maka kami akan menyerahkan kepada pihak
kepolisian."
Jomplangnya pendapatan pesepakbola disinyalir menjadi alasan
terjadinya pengaturan skor.
"Fenomena ini sangat berhubungan dengan krisis ekonomi
yang melanda Spanyol. Ketika pesepakbola yang mendapatkan lebih sedikit uang
dan adanya keterlambatan pembayaran gaji karena faktor ekonomi yang menjerat
klub, maka para atlet ini akan mencari uang tambahan."
"Situasi ini dikarenakan tidak adanya monitoring dan
pengawasan. Jika adanya pengawasan terhadap klub, maka resiko pengaturan skor
akan berkurang."
Pada saat yang sama, Tebas pun mengkritik Federasi Sepak
Bola Spanyol karena tidak pernah mengentaskan persoalan pengaturan skor.
"Ini adalah tugas Federasi Sepak Bola Spanyol (RFEF)
untuk meminimalisir kejadian seperti ini. Jika tidak, maka liga akan
berantakan," tegas pria kelahiran Costa Rica ini.
"Presiden RFEF tidak percaya mengenai adanya pengaturan
skor. Menurut saya, sudah saatnya dia percaya. Federasi sudah bertindak
sembrono dengan ketidak-peduliannya. Orang-orang disekitar presiden Federasi
pun enggan mengangkat situasi yang sebenarnya," kritik Tebas, tajam, Mei
2016 silam.
Bukan hanya soal pengaturan skor, di Liga Spanyol pun ada
'tradisi' pemberian bonus untuk mengalahkan lawan agar jalan klub-klub tertentu
bisa lengang. Contohnya terjadi di akhir musim lalu.
Kala itu Barcelona berharap Deportivo La Coruna bisa
mengalahkan Real Madrid agar bisa memuluskan upaya menjadi juara Liga Spanyol.
Pun Los Blancos menginginkan Blaugrana kalah atau ditahan imbang oleh Granada
demi menjaga kans juara.
Sorotan seperti itu makin tajam setelah kiper Granada Ivan
Kelava mengakui jika dirinya mengetahui ada semacam kebiasaan pemberian bonus
untuk mengalahkan lawannya dari tim tertentu.
Namun ucapan Kelava kala itu tidak berarti membuktikan
Granada akan atau sudah menerima bonus dari Real Madrid jika sukses menahan
ambisi Barca untuk menjadi juara Liga Spanyol.
Tidak hanya empat klub di atas yang dicurigai main mata,
Villarreal dan Sporting Gijon pun mendapatkan sorotan serupa. Seperti
diketahui, The Yellow Submarine sudah memastikan tempat di zona Liga Champions.
Sementara Gijon harus meraih poin penuh agar lolos dari jerat degradasi.
Satu-satunya laga yang dicurigai terjadinya pengaturan skor
ialah di laga yang mempertemukan Real Sociedad kontra Rayo Vallecano di akhir
musim lalu. Kecurigaan tersebut muncul dari harian El Mundo yang melihat adanya kejanggalan di bursa taruhan.
"
Ketika anda mendengar rumor-rumor (pengaturan skor)
anda tidak bisa memalingkan muka. Jika kita bisa menyelesaikan kasus ini maka
kami akan sangat senang. Laga itu, antara Real-Rayo, adanya pola abnormal tapi
itu bukan berarti sesuatu terjadi."
"Ini (berkaitan) dengan pasar bursa taruhan yang sangat
terfokus kepada posisi di klasemen," ujar Tebas, Mei silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar