Dewasa ini, sepak bola bukan barang eksklusif lagi. Setiap orang bisa dengan bebas mendukung satu, dua, tiga atau bahkan empat klub berbeda. Tiada larangan, meskipun pada umumnya klub yang didukung tersebut tidak mempunyai rivalitas atau berada di satu liga yang sama dengan tim favorit lainnya.
Dengan membludaknya sepak bola seakan mematahkan batasan-batasan yang dahulu terjadi. Kini si kulit bundar tidak lagi mengenal adanya kalangan, golongan, agama, rasa dan bahkan orientasi seks, FC Barcelona kini tidak lagi eksklusif khusus warga Katalunya. Liverpool FC tidak lagi didominasi Scouse atau Glasgow Celtic FC yang dapat dinikmati orang-orang muslim, Yahudi atau bahkan Kristen Protestan.
Lazimnya, para penyuka sepak bola itu memilih untuk mendukung klub-klub besar seperti Real Madrid, Manchester United, Arsenal FC, Paris Saint-Germain, Bayern Munich dan lainnya.
Pengidolaan kepada tim-tim besar yang terlalu sering menjadi jawara di tingkat domestik atau kontinental menimbulkan keiriian diantara para suporter klub yang besar juga. Bahkan tidak jarang diantara kedua klub besar selalu ada friksi, adu pendapat dan dalam beberapa kasus saling adu jotos demi "kehormatan" klub.
Aneh bukan? Sama-sama mendukung klub besar namun kerap berselisih hanya untuk membuktikan siapa yang paling jago, paling hebat dan paling besar.
Sikap untuk membuktikan yang terjago, terhebat dan terbesar itulah yang menjadi alasan kenapa mereka mendukung klub besar. Seakan ada perasaan menyamakan diri sebagai yang terkuat dan superior dibandingkan orang lain, dengan mendukung klub jawara.
Klub besar dan jawara akan sangat minim mengalami kekalahan sehingga membuat para penyukanya tidak mengalami fase "dipermalukan" karena kalah atau gagal menjadi juara. Ada pula yang hanya ikut-ikutan tren semata atau mengikuti suara mayoritas.
Alasan-alasan di atas bisa difahami sebagai insting manusia untuk tunduk kepada hal dominan dibandingkan dirinya sendiri agar tidak tertindas, dipermalukan atau demi mencari aman dengan mengikuti suara kebanyakan. Sebagai contoh, dalam sebuah pemilu, manusia akan lebih condong mengikuti pilihan orang lain jika alasannya tepat, sejalan dengan nalar atau tidak merugikan dirinya. Itulah sebabnya pada pemilu selalu ada juru bicara yang mengedepankan orang-orang populer atau terkenal.
Beberapa kenalan penulis memiliki pemikiran yang "unik" dengan mendukung klub-klub semenjana, yang kurang populer atau tidak diminati oleh kebanyakan orang, seperti Newcastle United FC, Sunderland FC, Nottingham Forest FC, Fulham FC dan lainnya.
Sah-sah saja sebab tidak ada larangan untuk memberikan dukungan kepada sebuah klub, terkecuali jika harus memberikan persembahan nyawa seorang wanita perawan di altar.
Dalam ilmu psikologi, pendukungan kepada klub-klub kecil ini disebut sebagai The Underdog Effect. Meski disebut underdog atau kecil, namun sejatinya mempunyai imbas yang sangat besar dalam kehidupan dan bahkan kelangsungan umat manusia.
Sebelum melangkah lebih jauh, kita lihat kembali perjalanan tim nasional Islandia di turnamen Euro 2016 Perancis, dimana skuat yang sempat diarsiteki Lars Lagerback dan Heimir Hallgrimsson itu bisa meraih dukungan publik, baik di Perancis dan di dunia. Dukungan yang diberikan kepada Islandia bisa diyakini sebagai empati dan simpati.
Seperti diketahui, empati adalah keadaan mental yg membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dl keadaan perasaan atau pikiran yg sama dng orang atau kelompok lain (versi KBBI). Sedangkan simpati merupakan keikutsertaan merasakan perasaan (versi KBBI).
Menurut penelitian (How 2 Win eps.2), rasa empati dan simpati manusia akan muncul jika melihat serta menempatkan posisinya pada seseorang atau sesuatu yang dihadapkan dengan yang lebih dominan. Contohnya: pengemis di perempatan jalan, dimana banyak kendaraan mewah berseliweran. Contoh lainnya adalah ketika kampanye pemilihan (pilpres atau pilkada), seorang kandidat akan selalu tampil sederhana agar bisa meraih empati dan simpati publik.
Dalam perkembangan hidup manusia di zaman batu atau pra-sejarah, manusia akan membantu insan yang memiliki posisi lebih rendah darinya, agar keutuhan kelompoknya tetap terjaga demi menjaga kelangsungan hidup dirinya menghadapi predator. Singkat kata: selemah apapun seorang manusia di zaman pra-sejarah, dia mempunyai peran dalam menjaga kuantitas dari kelompoknya agar keberlangsungan kelompoknya tersebut tetap terjaga. Itulah salah satu faktor kenapa hanya sedikit manusia rela tinggal di desa kecil yang dihuni kurang dari 20 orang dan memilih tinggal di kota besar.
Sedangkan bagi manusia yang memiliki posisi lebih rendah, mereka akan mengikuti jejak manusia yang lebih dominan (alfa) darinya, demi kelangsungan hidup dan gen (DNA). Tidak heran jika pada zaman dahulu seorang raja atau ksatria merupakan individu yang gemar berperang demi memuaskan egoisme, maskulinisme dan juga sebagai ajang pembuktian yang terkuat sehingga mendapatkan pengikut, seperti Dewa Krisna yang pada awalnya merupakan seorang ksatria pada babad Mahabarata.
Oleh karena itu, sepak bola tidak bisa lepas dari manusia sebagai individu dan tidak bisa dipaksa untuk memberikan dukungan kepada klub lain sebab adanya keterkaitan dengan dirinya sendiri dibawah alam sadar.
Jangan lupa, sepak bola dahulu dipergunakan sebagai ajang untuk memperbaiki evolusi manusia dengan cara membentuk badan yang sehat dan jauh dari penyakit agar keberlangsungan gen tetap terjaga, seperti yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Bukan sebuah kebetulan semata jika Adolf Hitler menginginkan ras Aria sempurna dengan mengedepankan masyarakat Jerman yang sehat dan "menidurkan" manusia yang lebih "rendah posisinya".
Lalu, dimanakah posisi anda dalam mendukung sebuah klub?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar