Jumat, 07 Oktober 2016

Sepak Bola Suriah, Tiongkok dan Kejamnya Perang

Apa jadinya kala ekspektasi tinggi yang masih terlalu kerdil terbentur dengan kenyataan? Ketika seorang hobbit bermimpi menjadi Goliath Si Raksasa namun bisa dibungkam oleh Daud yang posisinya tidak lebih cebol dibanding kurcaci.  Sakit? Perih? Pedih? Kecewa? Itu lah yang dirasakan suporter tim nasional Tiongkok.

Bagaimana tidak, tim nasional Tiongkok harus takluk oleh Suriah, dihadapan muka publik sendiri. Oleh tim yang sedang carut-marut oleh perang saudara. Oleh kesebelasan yang berada di posisi ke-114. Oleh skuat yang rakyatnya seperti serbuk sari, berhamburan ke negara-negara mapan. 

Kekecewaan dan kekesalan rakyat Tiongkok menjadi-jadi sebab dunia sepak bola Negara Tirai Bambu itu sedang mencoba menggeliat di Asia dengan beragam pemain-pemain tersoroh Benua Biru, dengan gelontoran uang yang seakan tidak pernah habis seperti Dimas Kanjeng, ditengah-tengah optimisme nasionalisme, bahkan titah Xi Jinping pun masih sayup-sayup terdengar.

Xi Jinping memang bernafsu untuk membangun dominasi dalam soal olahraga di dunia, sehingga pemain-pemain yang kualitasnya belum setara nominator Ballon d'Or pun dibabat habis di Eropa dan Amerika Selatan. Tujuannya agar anak-anak bangsa bisa belajar banyak darinya. Tapi apa daya, belum lama proses pembelajaran dilakukan, sudah terlebih dahulu menelan kekecewaan. 

Bukan hanya berniat membangun naga sepak bola di Timur Jauh, dan juga sebagai langkah politis seperti yang sudah penulis singgung di artikel sebelumnya, Xi Jinping ingin Tiongkok menjadi tuan rumah Piala Dunia suatu saat nanti. Tapi ada daya, kini kans Tiongkok melaju ke Piala Dunia 2018 Rusia pun cukup tipis.

Bahkan pusat berita Xinhua mengakui jika hasil mengecewakan dari Suriah membuat Tiongkok berada di ujung tanduk di fase kualifikasi. Berbeda dengan The Global Times yang berhaluan komunis, yang menganggap kekalahan tersebut hanya kebetulan semata sebab di babak pertama para pemain Negara Chin itu menguasai jalannya pertandingan. 

Apapun yang dikatakan media, yang pasti rakyat Tiongkok dibuat kesal olehnya. Para fans sampai meminta Cai Zhenghua, presiden Asosiasi Sepak Bola Tiongkok untuk mundur. Bahkan Dong Lu, seorang komentator olahraga menyamakan timnas dengan para pemain amatir di akun Weibo.

"Kemarin malam (Kamis 6/10) Suriah, sebuah negara yang menderita perang selama bertahun-tahun, dengan pelatih kepala yang hanya digaji Rp 3,8 juta tiap bulannya, bisa mengalahkan Tiongkok yang para pemainnya dibayar miliaran yuan. Sudah saatnya tim nasional Tiongkok dipikirkan kembali," tulis seorang kritikus di Weibo.

"Tidak ada lagi alasan tim nasional Tiongkok untuk tetap ada. Hanya membuang-buang uang pajak saja." 

Kritikan yang muncul di media sosial pun sampai ada yang meminta agar pelatih timnas Gao Hongbo dipecat dan digantikan ooleh Lang Ping, seorang pelatih tim bola voli wanita. Panas!

Ketakutan Xi Jinping kembali muncul. Ia tahu, demonstrasi para penyuka sepak bola di negaranya bisa menjadi penyulut revolusi yang dapat menggoyahkan keberadaan Pemerintah. Oleh karena itu Jinping berusaha melakukan tindakan preventif dengan memberi titah pembangunan dunia sepak bola.

Gejolak Tidak Berkehabisan


Tapi apa mau dilacur Suriah memang bukan negara adi daya. Bukan pula negara yang mempunyai kestabilan seperti Tiongkok. Permasalahan dengan pasukan IS hingga kini membuat negara tersebut terpecah belah. Negara di jazirah Arab ini sampai-sampai disebut sebagai negara paling bergejolak di dunia akibat perang saudara.

Sepak bola di Suriah memang ada dan masih berlanjut hingga kini. Namun tidak seperti yang dibayangkan, bahkan jauh jika dibandingkan dengan Indonesia. Saking mirisnya, dalam sebuah rekaman pesawat tanpa awak yang dirilis oleh BBC, terlihat anak-anak kecil bermain sepak bola diantara reruntuhan dan puing-puing bangunan yang hancur oleh mortir, peluru dan bom di kota Aleppo.

Ah iya,  ISIS atau kelompok ekstrimis yang menguasai Suriah dan Irak ternyata aktif memainkan olahraga seperti sepak bola. Meskipun penggunaan atribut sepak bola atau olahraga seperti jersey dan barang-barang yang berkenaan dengan klub-klub Eropa, dan produk-produk olahraga buatan apparel Barat dianggap terlarang. Yang berani melanggar, konsekuensinya hukuman cambuk sebanyak 80 kali dihadapan publik.

Sebelum aturan diatas keluar, terdapat regulasi unik yang dibuat oleh aparat pemerintahan ISIS untuk sepak bola. Sebuah aturan yang lebih syariah, sesuai dengan ideologi kelompok bersenjata tersebut, yaitu qisos, dimana seorang pesepakbola yang dilanggar oleh lawan boleh menuntut balas dendam atau meminta ganti rugi dalam bentuk materi. Cara ini memang tidak lazim, namun ISIS menganggap FIFA sebagai organisasi Barat  yang bertentangan dengan syariah agama Islam.

Suriah memang bukan negara yang damai dan tentram. Mantan kapten timnas Suriah, Jihad Qassab meninggal dunia akibat siksaan di penjara. Padahal pemain bertahan itu pernah membela timnas pada tahun 90an. Namun kala perang saudara bergejolak di 2012, ia melakukan perlawanan sebagai aktivis anti pemerintahan dan ditahan dengan tuduhan menyiapkan bom mobil, yang dibantah oleh dirinya. Akibatnya Qassab ditahan pada Agustus 2014 dan tidak pernah menghirup udara kebebasan sampai akhir khayatnya.

Rekan satu sel Qassab mengkonfirmasi jika pesepakbola yang pernah menjadi runnerup Liga Champions Asia 2006 bersama Al-Karamah itu meninggal dunia akibat tidak tahan disiksa. 

"Dia disiksa secara brutal, tapi mukanya tidak terlihat (ada memar atau luka) sebab mereka fokus menyiksanya di badan, kaki dan punggung. Dia dipaksa untuk mengaku setelah ditangkap," ujar Khaled Tellawi, rekannya.

Berita meninggalnya Jihad Qassab membuat mantan rekan-rekannya di timnas berduka. Sebuah penghormatan dilakukan meski mayatnya tidak dibebaskan untuk dikuburkan secara layak.

"Jihad adalah pribadi baik yang tidak akan pernah tega menyakiti siapa pun. Dia pemain superstar di Suriah dan pemain bertahan terbaik sepanjang sejarah." 

"Saya biasa bermain di timnas U-21 dan dilatih olehnya. Dia seakan seperti kakak dibandingkan seorang kapten atau pelatih," ujar Abu Wissam, mantan rekannya.

Suriah memang tidak bisa dilepaskan dari kata perang, pembunuhan, kesedihan dan ketakutan. Perang saudara yang sudah merenggut 470.000 jiwa dan mengusir jutaan rakyatnya itu membuat seorang pesepakbola bernama Abdelbaset Sarout menjadi pemimpin pemberontak 

Meski perang masih berkecamuk, tapi tidak ada alasan untuk tidak memberikan sedikit harapan dan senyuman untuk rakyatnya. 

Berada di Grup A AFC yang diisi oleh Tiongkok, Qatar, Uzbekistan, Korea Selatan dan Iran, Suriah berada selangkah lagi masuk ke playoff jika bisa menyingkirkan Uzbek yang ada di peringkat ketiga klasemen sementara. Tapi tidak perlu khawatir, masih ada tujuh pertandingan lagi untuk menentukan nasib Suriah, tersingkir atau menjadi kejutan.

Harapan


Sepak bola adalah bahasa, olahraga dan gairah universal yang tidak bisa disekat oleh kultur, kewarganegaraan dan agama. Bahkan rasa empati dan simpati bisa diberikan oleh orang-orang yang berada nun jauh di ujung Barat, meski dengan ancaman sanksi. Seperti fans Glasgow Celtic FC kepada Palestina, sebagai contohnya. 

Namun khusus untuk Suriah, beberapa klub mau turun tangan, meski mungkin satu dua diantaranya hanya untuk publicity stunt semata. Hal ini dikarenakan tidak semua negara Barat, dalam hal ini Eropa, bersedia membuka tangan atas dasar kemanusiaan. Entah itu karena phobia dengan pemeluk agama Islam yang dicap sebagai teroris atau takut akan saingan dalam mencari nafkah/pekerjaan sehingga menaikkan angka pengangguran dan kriminalitas. 

Bayern Munich menjadi salah satu klub pelopor pemberian bantuan kepada pengungsi Suriah melalui dukungan finansial, material dan praktikal. Tahu jika Jerman membuka pintu bagi pengungsi, Der Bayern membuka kelas bahasa, pembukaan kamp latihan disertai alat-alatnya, serta memberikan donasi jutaan euro ke kota Munich untuk membantu pengungsi. Rencananya, uang yang akan didonasikan itu didapat dari laga persahabatan melawan klub  Mesir Al-Ahly di Jerman.

Bukan hanya Der FCB, Borussia Monchengladbach, Bayer Leverkusen, Fortuna Dusseldorf, Freiburg dan Dinamo Dresden serta timnas Jerman pun turut serta memberikan bantuan. Der BVB bahkan pernah mengundang 220 orang pengungsi untuk menyaksikan laga Liga Europa melawan Odd Ballklubb, akhir Agustus lalu. 

Klub asal Inggris Arsenal FC pun tidak tinggal diam dengan melakukan penggalangan dana. The Gunners telah memberikan donasi sebesar Rp 17.000 dari setiap tiket yang terjual kala melawan Stoke City, September kemarin. 

Bukan hanya itu, klub-klub Liga Inggris pun setuju untuk membantu kampanye Save The Children yang bertujuan menolong anak-anak di Suriah. 

Para suporter Aston Villa, Newcastle United, Norwich City, Charlton Athletic, Swindon Town, AFC Wimbledon, Plymouth Argyle, Bath City, FC United, Clapton dan Dulwich Hamlet sempat mengadakan "Hari Solidaritas Sepak Bola Liga Inggris" pada 12 September kemarin, sebagai dukungan kepada pengungsi Suriah.

Sebuah kelompok suporter klub Jerman yang kecil tapi berdedikasi bernama Yorkshire St. Pauli bahkan membantu para pengungsi dan pencari suaka asal Suriah dengan proyek bernama Sepak Bola Untuk Semua.

Di Spanyol, Real Madrid mengumumkan telah mendonasikan uang sebesar Rp 11 miliar dan juga mengundang OSama Abdul Mohsen ke klub. Mohsen yang sebelumnya pelatih tim divisi utama di Suriah, mendapat pekerjaan di Getafe FC. Nama Mohsen sempat menjadi buah bibir setelah ia dijatuhkan oleh kamerawati asal Hungaria kala kabur dari kejaran aparat sambil menggendong anaknya. 

Baru-baru ini, Xavi Hernandez mengunjungi kamp pengungsi asal Suriah dan Palestina di Baka'a untuk memberikan dukungan dan mengajak anak-anak bermain sepak bola sebagai cara untuk keluar dari kesedihan.


Tidak ada komentar: