Senin, 09 Mei 2016

Deja Vu Ala Newcastle United

Newcastle United FC kembali harus berjuang di laga penghujung untuk menentukan nasib di musim depan. Sebelumnya, pada musim 2014/15 NUFC pernah berada di posisi yang sama sebelum akhirnya diselamatkan oleh Moussa Sissoko dan Jonas Gutierrez kala melawan West Ham United di pekan ke-38 tahun lalu. 


Pada pekan ke-37 kemarin, Newcastle hanya bisa meraih hasil imbang 0-0 melawan tim yang dipastikan terdegradasi, Aston Villa. Sedangkan tim tetangga Sunderland dapat meraup tiga poin penuh ketika menjamu Chelsea dengan skor akhir 3-2 di Stadium of Light. Dengan hasil ini maka The Toon Army membutuhkan sedikit keajaiban dengan menang melawan Tottenham Hotspur dan berharap banyak Sunderland kalah dari tim tamu Everton. 

Berbeda dengan penghujung akhir musim sebelumnya, kali ini Newcastle United seakan tidak bernafsu untuk lolos dari jerat degradasi dan menerima kemungkinan turun kasta dengan lapang dada. 

Tindakan Geordies bukan tanpa sebab. Transfer pemain-pemain berkualitas (untuk ukuran tim medio) telah dilakukan. Dari sejak musim panas 2015 NUFC telah membelanjakan uang sebesar 81,2 juta pounds dan hanya menerima pemasukan dari penjualan pemain sebesar 4 juta pounds saja. Bandingkan dengan sang jawara Leicester City yang mengeluarkan uang sebesar 37,62 juta pounds dan mendapatkan pemasukan sebesar 7,1 juta pounds. 

Jika dilihat dari sejarah, suporter Newcastle tentu bisa lebih berbangga hati. Bagaimana tidak, terakhir kali Newcastle berada di divisi Championship adalah di musim 2009/10 sedangkan Leicester baru bisa naik ke kasta tertinggi Liga Inggris pada 2013/14. Selain itu NUFC pun lebih berpengalaman di level Eropa dengan menyabet Piala Fairs dan Piala Intertoto. Namun jika ditilik dari kondisi saat ini, The Fox layak untuk tersenyum puas sementara Geordies bisa hanya mengelus dada melihat prestasi klub. 

Bukan di musim ini dan musim lalu saja NUFC harus berjuang untuk lolos dari degradasi. Pada musim 2008/09 dan 2013/14 pun The Magpies pernah merasakan hal serupa, meski tidak separah di musim kemarin dan sekarang. 

Lalu dimanakah salahnya Mike Ashley setelah sang pemilik menggelontorkan uang ratusan juta pounds pada dua musim terakhir? 

Jika Ashley melihat FC Barcelona, Real Madrid atau Paris Saint-Germain sebagai role model, maka salah besar. Ashley lupa, ketiga klub tadi memiliki perbedaan pendapatan dengan klub-klub di liga setempat. Sementara di Liga Inggris, pendapatan klub hampir rata berkat hak siar televisi. Apalagi dengan pembaharuan kontrak hak siar yang baru, maka tim semenjana Premier League dapat bersaing dengan tim papan atas dari liga lainnya. 

Kemungkinan terdegradasi pun tidak sepenuhnya salah Rafael Benitez, dimana manajer asal Spanyol ini mewarisi "kekonyolan" dari Steve "Wally with the Brolly" McClaren. Banyak yang pendapat jika Benitez lebih awal bergabung, maka hasilnya akan berbeda. Akan tetapi bukan kah karir Benitez di klub sebelumnya tergantung keputusan dari Florentino Perez? 

Kini, fans Newcastle United harus merasakan kembali deja vu. Akan kah Newcastle lolos dari lubang jarum degradasi? Atau Mike Ashley merombak direksi yang mengurusi sepak bola agar investasi yang digelontorkan tidak terbuang percuma di musim mendatang (andai lolos degradasi)? Mukjizat itu ada, namun realita lebih nyata.

Tidak ada komentar: