Kamis, 06 Maret 2014

A Small Gem Called Timika

Apa yang terfikir pertama kali dari kata Papua? Separatis? Hutan? Malaria? Atau mungkin berfikir koteka? Well, terlepas dari apa yang ada dipikiran, namun Papua adalah salah satu permata indah dari ratusan atau bahkan ribuan permata di Nusantara.

Namun satu hal yang pasti, Papua (setidaknya di tempat yang pernah saya kunjungi) tidak tertinggal seperti yang dibayangkan banyak orang. Bagi saya yang tinggal di Bandung dan harus ikhlas menerima buruknya jalan, di Papua sepertinya tidak ada jalan yang rusak. Hampir semua jalan mulus, tanpa cacat. Berbeda jauh dengan di Pulau Jawa yang dengan mudah ditemukan lubang sebesar bayi atau anak kecil di jalan raya.

Ketika saya mendapat undangan ke Papua dari teman-teman saya di IndoBarca Timika dan IndoBarca Jayapura, seorang teman dekat mewanti-wanti saya untuk meminum obat anti malaria dulu. Menurut beliau, di sana masih ada malaria. Sialnya, saya lupa membeli obat malaria di apotik sehingga sepanjang perjalanan saya berdoa agar tidak terkena malaria, dan juga berdoa agar pesawatnya tidak jatuh di lautan dan hutan belantara.

Ketika saya mendarat di bandara Mozes Kelangin Timika, yang pertama terbersit di benak saya adalah betapa kecilnya bandara tersebut. Namun kemudian saya ketahui jika bandara Kelangin tidaklah dimiliki oleh Pemerintah Daerah sebagaimana umumnya, tapi dimiliki oleh pertambangan Freeport. Okay, itu cukup membuat saya kaget dan saya akan terkaget-kaget lagi nantinya.

Kota Timika tidak begitu besar. Mungkin besarnya hanya 1/3 dari kota Bandung. Meski relatif kecil, cuaca di sana melebihi Bandung atau daerah panas lainnya di Pulau Jawa. Matahari cukup bersinar terik.

Tidak banyak yang bisa dilihat di Timika. Menurut teman-teman saya, kota Tembagapura lebih maju dan lebih tertata dengan baik dibanding Timika. Wajar, karena Tembagapura dibentuk untuk mensokong dan oleh Freeport. Sayangnya saya tidak sempat mengunjungi Tembagapura karena untuk ke Tembagapura, kita harus melalui area pertambangan Freeport. Tidak sembarang orang dan tidak sembarang kendaraan bisa masuk ke area Freeport. Hanya pekerja dan pihak keamanan dengan kendaraan anti peluru yang bisa masuk ke area Freeport.

Ketika diajak memasuki area Freeport dan kewajiban mengendarai mobil anti peluru, yang ada dipikiran saya adalah penembakan terhadap mobil yang saya tumpangi yang kerap terjadi di Freeport. Sedikit melegakan karena saya ditemani oleh aparat kepolisian (thanks bang Rudolf dan tantenya!) dari Polres Timika.

Oh ya, mengenai penembakan ini jangan dianggap enteng. Papua masih bergejolak dan kerap terjadi perang antar suku hampir di semua daerah di Papua. Sangat amat tidak disarankan berpetualang atau wondering around di Papua sendirian atau tidak ditemani oleh teman yang berdomisili di Papua, terutama disaat malam hari dan anda berasal dari Pulau Jawa. Selain karena culture shock atau perbedaan kultur dan cara pandang, juga adanya masalah separatis. Meski relatif aman, namun tidak ada salahnya mengambil tindakan prefentif.

Kapal besar yang membawa pasir emas menuju lepas pantai, untuk dikumpulkan dalam kapal yang lebih besar sebelum akhirnya dibawa ke Amerika Serikat
Meski tidak bisa masuk ke Tembagapura, saya berkesempatan mengunjungi Portsite, yaitu area pelabuhan yang masih masuk kedalam area pertambangan Freeport. Di Portsite-lah emas-emas yang dikeruk di tanah Papua dikirim ke Amerika Serikat. Di area ini pula sumber listrik yang menjadi penyokong seluruh pertambangan Freeport beroperasi.

Pasir bukan sembarang pasir. Ini adalah pasir yang dicampur emas murni!
Di sepanjang jalan menuju Portsite, saya melihat rawa-rawa dengan pohon mati yang masih menancap di tengah-tengah kumbangan air. Menurut pemikiran saya yang masih awam, pencemaran akibat pertambangan mengalir menuju area rawa tersebut sehingga mematikan beberapa tumbuhan bakau. Tapi di sini lah uniknya. Freeport memperkerjakan sekumpulan orang untuk menanam rerumputan agar ekosistem kembali berjalan normal. Entah apakah cara tersebut bisa mengurangi pencemaran atau hanya agar membuat terlihat hijau semata.

Karena tidak ada air bersih, suku Kamoro yang mendiami area Portsite harus mencari air di pelabuhan Portsite yang disediakan oleh Freeport menggunakan sampan tradisional.
Pelabuhan Portsite. Dilatar belakang bisa terlihat deretan rumah suku Kamoro yang mendiami area Portsite
Ah, saya tidak menyalalahkan Freeport atas pencemaran tersebut. Hampir semua usaha atau pabrik pasti menghasilkan limbah. Tidak percaya? Lihat saja warteg atau rumah makan. Setiap harinya pasti menghasilkan limbah berupa sampah rumah tangga. So, tidak ada bedanya kan? Hanya skalanya saja yang berbeda.

Penyokong keberadaan Freeport, pembangkit listrik tenaga batubara
Di Timika terdapat dua suku pribumi yang menjadi mayoritas, yaitu suku Kamoro yang mendiami daerah pesisir dan suku Amungme yang tinggal di daerah pegunungan. Akan tetapi sebetulnya ada 7 suku besar di Timika, yaitu Kamoro, Amungme, Dani, Moni, Ekari, Mee, dan Nduga. Ketujuh suku ini mendapat prioritas dari pertambangan Freeport. Mereka berhak memperoleh satu persen pendapatan kotor Freeport yang digunakan untuk kesejahteraan mereka. Namun hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.

Di Timika ada dua pelabuhan, yaitu Portsite yang khusus digunakan oleh Freeport dan Pomako yang umum digunakan penduduk Timika. Sayangnya saya tidak berkesempatan mengunjungi pulau-pulau di sekitar Pomako yang katanya indah. Mungkin suatu saat bisa. Amin.

Sisi lain Pomako.

The happy boys!
Dalam perjalanan menuju Pamoko, saya melihat deretan rumah dari kayu yang menurut saya tidak layak huni. Setelah saya bertanya-tanya, ternyata perumahan tersebut adalah perumahan dari sebagian kecil suku Kamoro yang mendiami daerah pesisir Timika. Rumah-rumah tersebut terkesan kumuh, tanpa aliran listrik dan air. Miris memang. 

Berbalik dengan perumahan suku Kamoro, ada suatu daerah di Timika yang khusus menjadi perumahan pekerja Freeport, bernama Kuala Kencana. Sebuah kota kecil yang sempurna, menurut saya. Dengan rimbunnya pepohonan dan tanpa adanya batas antara rumah dengan hutan membuat daerah ini terkesan natural dan asri.

Uniknya, di Kuala Kencana dilarang dibangun rumah baru tapi rumah yang tadinya diperuntukan pekerja Freeport bisa diperjual-belikan. Juga ada pelarangan menebang pohon yang cukup mendinginkan cuaca Timika yang panas. 

Kuala Kencana bisa disebut sebuah kota terpisah dari Timika karena memiliki fasilitas yang bisa menghidupi penduduknya. Sekolah, gereja, mesjid, tempat olahraga, tempat berbelanja dan foodcourt sudah tersedia di Kuala. 

Saya tidak sempat mencoba kuliner tradisional Timika. Yang saya coba hanya papeda, yaitu tepung sagu yang dicampur dengan air panas. Unik. Mirip dengan lem sih sebenarnya. Hanya ini terbuat dari sagu, bukan tepung kanji. Rasanya? Ya tawar sih. Mirip-mirip lendir begitu deh. Tapi cukup membuat ketagihan karena sensasi yang diberikannya.

Waktu itu saya memakan papeda dengan semacam sayur berkuah kuning berisi ikan. Kuah kuning tersebut agak pahit. Setelah saya lihat, ternyata ada bunga pepaya dalam kuah tersebut yang katanya menjadi obat malaria.

Perhatikan mangkuk putih, itu lah papeda
Bagi pendatang atau wisatawan, berpetualang di Papua adalah saatnya melupakan diet. Bagi yang belum terbiasa dengan Papua, diharuskan untuk selalu makan alias perut tidak boleh kosong. Ancamannya cukup serius, yaitu malaria. So, makanan apapun harus dimakan, terlepas dari perbedaan selera makan. Harap diingat, malaria itu penyakit kambuhan. Sekali terkena, bisa kambuh suatu saat nanti. 

Papan pengumuman ini bukan untuk iseng, tapi peringatan serius!
Menurut data statistik nasional, Papua adalah daerah dengan penularan HIV/AIDS tertinggi karena keengganan masyarakatnya memakai kondom. Maka tidak heran di daerah lokalisasi selalu ada papan pengumuman dan daerah tersebut dijadikan daerah wajib kondom. Kawasan wajib kondom ini saya temukan di Jayapura dan di KM10 Timika.


Thanks IndoBarca Timika atas undangannya! 

1 komentar:

Unknown mengatakan...

busyet itu emas sampe menggunung gitu ya kang ??? bawa sekantong plastik asoy aj bisa buat modal nikah kali yak...hehehe
bener2 kaya ni papua, tapi kasian sebagian masyarakat papua, gak ada air gak ada listrik (bak bumi dan langit)